Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ini Sebabnya Ada Gubernur Hanya Liburkan SMA, Tidak SD dan SMP

15 Maret 2020   09:21 Diperbarui: 16 Maret 2020   11:22 6296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang teman kelas semasa sekolah mengirim pesan di whatsapp, "Bro, Gubernur Banten kaco itu. Kok cuma liburkan SMA? Yang paling butuh kan SD SMP. Tiru Anies donk."

Mungkin pagi tadi kawan ini masih setengah terjaga saat membaca artikel, "Corona, 61 Negara Liburkan Sekolah, Ini 9 Pemda Indonesia yang Sudah Putuskan."

Saya balas pesannya, "Baca yang benar. Makanya jangan kelewat multitasking, baca sambil nonton b0k3p sih."

Memang dalam artikel itu saya ceritakan bahwa Pemprov Banten meliburkan seluruh sekolah di satuan pendidikan SMA/SMK/SKh. Sementara di DKI, Gubernur Anies Baswedan meliburkan mulai dari PAUD hingga SMA dan sederajat.

Tetapi jika kawan tadi cermat membaca, dua kali saya jelaskan mengapa Pemprov Banten hanya meliburkan sekolah setingkat SMA dan mengapa pula sejumlah Pemkot hanya meliburkan PAUD, SD, dan SMP berserta sekolah-sekolah sederajatnya, plus pendidikan nonformal.

Saya sengaja dua kali memberi penjelasan tentang itu karena saya duga, seperti saya, banyak orang tidak begitu memahami seluk-beluk otorita di bidang pendidikan.

Saya sendiri sempat lama bertanya-tanya tentang perbedaan kebijakan antar pemerintah provinsi itu. Awalnya saya menduga wartawan yang tidak jeli mengutip surat edaran atau pernyataan pejabat di Banten. Saya sampai mengecek di 7 media lain.

Tetapi setelah 7 media memberitakan yang sama, dan setelah membaca keputusan sejumlah Pemkot, saya mulai curiga, jangan-jangan memang Pemprov cuma berwenang mengurus pendidikan setingkat SMA. Sementara jenjang di bawahnya berada di tangan Pemkot/Pemkab.

Maka pencarian saya berubah haluan ke soal pembagian otoritas tersebut.

Benarlah. Ternyata soal ini berlatar belakang pembagian kewenangan mengurusi sekolah sebagai amanat UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah.

Dalam Pasal 15 ayat (1) UU 23/2014 dinyatakan, "Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini."

Nah, pada bagian lampirannya, pada bagian Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan, Sub Urusan Manajemen Pendidikan disebutkan bahwa urusan pengelolaan pendidikan menengah dan pendidikan khusus berada di tangan pemerintah provinsi. Sementara pemerintah kabupaten/kota kebagian urusan pengelolaan pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal.

Jadi SMA, SMK dan SKh berada di tangan pemerintah provinsi, sementara SMP, SD, PAUD, dan pendidikan nonformal menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota. Catatan: meski namanya Sekolah Menengah Pertama, menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, SMP termasuk dalam pendidikan dasar.

Pada 2016, ketentuan penyerahan urusan pengolaan pendidikan SMA/SMK/Skh ke pemerintahan provinsi digugat sejumlah warga negara dengan mengajukan judicial review ke Mahmakah Konstitusi. Tetapi MK memutuskan memutuskan pengelolaan urusan pendidikan menengah (SMA/SMK/sederajat) tetap dipegang pemerintah provinsi.

Berdasarkan keputusan MK, per Januari 2017 Pemerintah telah menyerahkan pengelolaan SMA/SMK/SKh ke pemeritahan provinsi.

Jadi Pemprov Banten justru benar ketika memutuskan meliburkan hanya SMA/SMK/SKh. Demikian pula Pemkot Bandung, Bogor, Bekasi, Depok, dll sudah benar hanya meliburkan PAUD, SD, SMP, dan pendidikan nonformal. Pemerintah-pemerintah daerah ini bertindak sesuai tugas dan wewenang yang diatur dalam undang-undang.

Kalau begitu Anies Baswedan salah?

Ah, tidak harus begitu kesimpulannya. Yang pertama, bisa saja ini urusan perbedaan penafsiran, apakah wewenang menutup sementara sekolah-sekolah dalam kondisi darurat pandemi harus mengacu pada UU Pemda atau tidak perlu.

Yang kedua, Pemprov DKI punya posisi unik.

Berdasarkan UU 29/2007 tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI, kota/kabupaten di DKI merupakan kota/kabupaten administratif, bukan daerah otonom. Para wali kota di DKI bukan pemerintah, mereka birokrat, aparatur birokrasi, PNS yang diangkat Gubernur DKI untuk jabatan tersebut. Boleh jadi dengan begitu---karena hanya satu level Pemda di DKI---urusan pengelolaan PAUD hingga SMA berada di tangan gubernurnya.

Tetapi kok Gubernur Ganjar Pranowo seperti Anies liburkan semua jenjang? Kan Jateng bukan Daerah Khusus seperti DKI.

Ya, bisa jadi karena alasan perbedaan penafsiran tadi.

Lagi pula ngapain coba di masa darurat begini yang dipersoalkan wewenang?

Saat ini yang paling penting adalah respon cepat pemerintah---di level apapun itu---untuk mencegah penyebaran cepat virus Corona. Pemerintah---Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota---berbuat baik kok dicari-cari persoalannya. Makanya jangan pilpres melulu yang dipikir. Nasip rakyat, bro, nasip rakyat.

Jadi bagaimana? Bisa sepaham kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun