Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku Masih Menunggunya

10 Maret 2020   12:07 Diperbarui: 10 Maret 2020   12:36 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sepekan lalu ketika tangan lembut meski penuh keriput membelai-belai rambut di kepalaku sambil dendangkan nina bobo. Aku merasa dengan belaian dan lagu itu ia ingin bilang, semua akan baik-baik saja.

Aku membalikkan tubuh, rebah menyamping agar bisa lebih utuh memandang wajahnya. Tatapanku jatuh pada sepasang bola mata penuh cinta itu. Saat itu aku tahu, tidak semua baik-baik saja.

Sore tadi, di pingir jalan di depan rumah, mengitari gerobak pedagang sayur, ibu-ibu tetangga ramai bergunjing tentang 1 pasien positif Corona di kota kami.

Mereka bikin rencana, oh bukan, mereka memutuskan bertindak saat itu juga untuk beramai-ramai menyerbu supermarket, membeli tisu, gel cuci tangan, masker, odol, sabun, mie rebus, dan segala macam saja barang-barang yang menurut mereka harus diamankan persediannya di dapur-dapur mereka.

Ia tidak bicara sepatah kata, hanya mendengar ocehan ibu-ibu itu tanpa menimpali. Tetapi cemas bertengger di matanya.

Ia menggeleng lambat ketika mereka mengajaknya turut.

Setelah sepi, ibu-ibu tadi sudah beramai-ramai ke supermarket,  ia masuk ke dalam. Aku mengikuti langkahnya dari belakang, hingga ke kamar tidur.

Ia membuka almari kayu, meraih dompet kain berwarna entah apa, sudah pucat pupus oleh usia, dan membukanya.

"Hanya cukup untuk beras pekan depan," katanya kepada diri sendiri sembari menatapku.

***

Ibu-ibu dari pekan lalu itu kini kembali ramai di depan rumah kami, melongok-longok  ke dalam rumah lewat dua jendela berdaun tripleks yang belum ditutup sejak kemarin.

Di ruang tamu, tubuhnya terbaring pada sofa dengan busa-busa menyembul di sana-sini dari celah-celah koyakan kulit sintesis.

Semenjak kemarin pagi ia diam saja di situ.

Aku bingung, belum pernah ia tidur selama ini.

Aku sudah coba membangunkannya sejak semalam, tetapi menggerakkan kelopak matapun ia tak.

Akhirnya aku pasrah, berjongkok di samping sofa tempat ia berbaring, berharap tidak lama lagi ia terjaga. Sesekali aku juga membaringkan tubuh. Lapar yang melilit perutku sudah tak kupedulikan lagi.

Ketika tiga orang berpakaian seperti dalam film-film alien masuk ke rumah, aku menyapa mereka, meminta penjelasan apa yang terjadi dengan dirinya. Aku coba ceritakan berapa lama ia di sana.

Tak seorang pun  menggubris.

Mereka membungkus dirinya, memindahkannya ke atas usungan,  membawanya ke luar.

Aku bertanya, bahkan setengah berteriak, apa yang terjadi? Apa yang mau mereka lakukan pada dirinya?

Sekali lagi, tak ada yang menjawab. Hanya seorang yang membuat gerakan tangan memintaku menjauh.

Mereka memasukannya ke mobil yang punya lampu di atasnya, yang segera berlalu dengan suara meraung-raung seperti kucing minta pertolongan.

Para perempuan yang tadi menjauh saat ia diangkut ke luar kini kembali mengerubungi jalan depan rumah kami.

Seseorang di antara mereka menatap padaku, lalu berpaling kepada kawanannya. "Siapa yang akan memelihara si Putih?"

"Ibu Sinta saja, kan Kristen," seorang berpaling kepada mama si Yanto, bocah yang biasa datang bermain denganku.

"Saya khawatir, jangan-jangan Putih sudah terjangkit pula," kata mama si Yanto.

Lalu ibu-ibu itu buru-buru bubar, kembali ke rumah mereka.

***

Sudah 3 hari sejak ia dibawa pergi. Aku sangat kelaparan. Sesekali gigitan kutu-kutu meninggalkan rasa gatal yang menyebalkan. Mereka merajalela sebab hampir seminggu ini tak ada yang menyingkirkan dari tubuhku.

Aaah, mungkin di seberang sana ada tikus yang bisa kukejar. Atau adakah sisa makanan di tempat sampah di pojok jalan?

Tetapi aku khawatir, ia pulang saat aku tak berada di sini. Tentu akan sedih hatinya. Ia hanya punya diriku, dan dirinya satu-satunya keluargaku. Biarlah aku menunggu saja.

Seekor kucing menatap dari balik rimbun pagar kembang sepatu. Biasanya sudah kukejar dirinya. Bukan karena membenci kucing. Tidak sama sekali. Aku hanya tidak punya teman bermain. Kupikir kejar-kejaran dengan kucing tidak menyalahi kodratku.

"Guk," kataku, mengajaknya mendekat. Ia berlari menjauh. Kaki-kakiku terlalu lemah untuk mengejar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun