"Mereka hewan cerdas. Mereka tidak dua kali menubrukkan diri di titik serupa. Mereka belajar dari kesalahan." Seorang ilmuwan menjelaskan perilaku dinosaurus yang mencoba menjebol kandangnya. Kurang lebih begitu sebuah scene salah satu episode film Jurassic Park.
Belajar dari masa lalu, tidak mengulangi kesalahan serupa adalah ukuran kecerdasan. Itu sebabnya ada ujar-ujaran, bahkan keledai tidak jatuh dua kali di lubang yang sama.
Begitu sudah. Keledai yang kerab dijadikan simbol kedunguan, "Bodoh seperti keledai!" tidak mengulangi kesalahan serupa.
Setiap membaca, menonton, mendengar berita tentang banjir Jakarta, saya dan saya duga banyak orang lain sekampung saya, NTT, berkomentar, "Tidak adakah orang cerdas di sana? Banjir terjadi tiap tahun, nol sajakah yang bisa belajar dari pengalaman untuk mengatasi atau menekan dampaknya?"
Hari ini, kami seharusnya berdiri di depan cermin menatap diri kami yang lebih bodoh dari keledai; yang tidak lebih cerdas dari saudara-saudara kami di Jakarta dengan banjir mereka.
Wabah demam berdarah terjadi hampir tiap tahun di kampung kami. Ribuan terjangkit, puluhan hingga ratusan meninggal.
Sungguh, kami malu pada para keledai. Para pembesar, bupati dan gubernur yang kami pilih, juga kami sebagai individu, sebagai rumah tangga, selalu jatuh di lubang yang sama: wabah DBD setiap tahun.
Ketika musim kampanye pilkada, tiada satupun yang bicara tentang bagaimana penanggulangan demam berdarah dilakukan agar tidak terulangi lagi.
Bukankah oleh karena terjadi setiap tahun, di saat yang sama, kami seharusnya sudah belajar polanya, sudah tahu mau-maunya, dan sudah bisa terapkan langkah-langkah mencegah terjadinya wabah?
Sebenarnya apa yang susah dari penanggulangan demam berdarah?
Bukankah sudah beberapa tahun lalu di negara-negara luar ada percobaan merekayasa perilaku Aedes agepty, biang kerok penyakit ini?
Pada 2018 silam, Media Indonesia menerbitkan artike berita tetang percobaan di sebuah kota di Australia yang berhasil memusnahkan 80% populasi nyamuk demam berdarah di sana. Para ilmuwan mengembangkan Aedes aegepty jantan yang steril, yang tidak bisa menghamili betina-betina mereka meski sudah bobo bareng semalam suntuk. Nyamuk-nyamuk Aedes aegypti betina direkayasa agar tidak menggigit.(1)
Lha, kalau begitu, mengapa tidak membawa masuk teknologi ini ke Indonesia? Seberapa mahal sih biaya yang dibutuhkan jika dibandingkan upah yang rencananya akan dikasih ke influencer pariwisata itu?
Sungguh. Di masa seperti ini, saya tidak akan berani berjumpa dan betatap muka dengan seekor keledai. Saya malu. Seharusnya setiap lima tahun kita memilih keledai untuk memerintah kita. Setidaknya mereka bisa ajarkan kita bagaimana cara berpikir dan bernurani agar tidak terus tersungkur pada lubang yang sama.
Saya dan saudara-saudara sekampung tentu lebih bodoh dari para keledai. Sebab kamilah yang memilih pemimpin-pemimpin kami. Aiiih. Dari manakah bisa mengimpor keledai-keledai? Biarlah kelak mereka saja yang memimpin kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H