Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

IWD dan Buruh Perempuan, Waktu Bercinta dan Omnibus Law Cipta Kerja

8 Maret 2020   05:00 Diperbarui: 9 Maret 2020   12:19 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengalan The Diary of a Shirtwaist Worker

Gelombang besar perempuan yang terjun ke pasar tenaga kerja semasa perang dunia kedua, menyebabkan tuntutan pengurangan jam kerja kian gencar. Apalagi peningkatan penawaran tenaga kerja laki-laki pada era pascaperang dunia II tidak memukul mundur kaum perempuan kembali ke ranah domestik sebab pada saat bersamaan boom ekonomi pascaperang menuntut banyak tenaga kerja. Krisis yang terprovokasi utang pada 1980an justru membuat kalangan kapitalis menggencarkan perekrutan buruh perempuan.

Inilah--kian besar jumlah buruh perempuan dan sebaliknya watak patriarkis masih melekat kuat--faktor pendorong di sisi penawaran yang kelak melahirkan pasar tenaga kerja yang fleksibel, yang menjadi roh omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, biang sengketa antara kelas pekerja versus pemerintah dan kapitalis yang dilayaninya.

Tetapi camkan, saya tidak sedang mengatakan bahwa fleksibitas pasar tenaga kerja adalah workers' demand-led. Bukan!

Fleksibilitas pasar tenaga kerja terutama lahir oleh kebutuhan kapitalisme menjaga rate of profit di tengah gencarnya persaingan oleh globalisasi. Itu sebabnya momentum perkembangan fleksibilitas pasar tenaga kerja, baik dalam ranah kajian akademis pun dalam praktik kebijakan, baru terjadi pascakeruntuhan rejim Breton Woods, titik star gerak bebas masif kapital ke seluruh penjuru dunia, awal era neoliberalisme.

Neoliberalisme bukan saja mengharuskan kaum kapitalis menekan serendah mungkin biaya produksi (menekan biaya produksi selalu berupa menurunkan variable cost, yaitu upah buruh) untuk memenangkan persaingan (menekan harga jual) tanpa terlampu jauh memotong rate of profit. 

Neoliberalisme juga membawa dampak pasar menjadi tidak tentu. Akibatnya kapitalis harus pandai-pandai dan lebih sering (fleksibel) menyesuaikan marginal cost agar tetap lebih rendah dari marginal revenue yang dinamis. 

Jalan untuk itu adalah leluasa mengupah dan memberhentikan buruh (sebagai variable cost jangka pendek), menyesuaikan jam kerja (yang berkonsekuensi pengeluaran upah) dengan naik-turunya permintaan atas produk.

Tetapi baiklah yang soal ini akan kita bahas tersediri. Perlu rangkaian artikel serius untuk membicarakan ekonomi politik fleksibilitas pasar tenaga kerja di Indonesia. Semoga ada waktu yang lega dan insentif moral yang cukup untuk menuliskannya. 

Yang perlu diingat, desakan agar Indonesia lebih luas mengadopsi fleksibilitas pasar tenaga kerja bukan tiba-tiba muncul dalam wujud RUU Cipta Kerja di era Jokowi. Sudah sejak akhir masa Soeharto berbagai lembaga dunia, struktur suprastate, mengadvokasi kebijakan yang merugikan buruh ini. Saya sudah pernah sedikit membahasnya 1-2 tahun lalu dalam artikel "Agama Baru, Investasi Asing dan Problem Buruh."

Untuk sekarang kita kembali dulu ke problem khas buruh perempuan ... dan waktu bercinta (kerja fleksibel).

Sungguh lihai kapitalis itu. Bukannya memenuhi tuntutan buruh, mereka justru mengeksploitasi kondisi kaum perempuan yang masih terkungkung nilai-nilai masyarakat patriarkis peninggalan feodalisme, menawarkan sistem kerja fleksibel yang sekalipus mengatasi problem kondisi tidak menentu dalam kapitalisme akibat tingginya persaingan dalam globalisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun