Rupanya selain cenderung korup, kekuasaan juga cenderung dipamerkan secara berlebihan. Sifat kekuasaan yang kedua ini mungkin cuma diidap pejabat negeri-negeri bekas jajahan. Saat naik pangkat dan posisi, mental campuran inlander-kolonialis mereka meronta-meronta ingin unjuk gigi, berpikir  inilah saatnya tampil seperti tuan-tuan bekas penjajah dahulu.
Siang, beberapa hari lalu... lampu merah Jalan El Tari baru saja berubah hijau, baru kira-kira 5-10 meter kedaraan-kendaraan kembali bergerak, ketika tiba-tiba mobil terdepan berhenti. Para pengendara kaget. Saya nyaris menubruk kendaraan di depan, beberapa sentimeter lagi, dan hampir pula diseruduk dari belakang.
Di belakang saya, seorang pengemudi mengumpat, "Babi!" berbaur bunyi decit ban dari barisan-barisan lebih jauh.
Rupanya seorang Polantas menghentikan tiba-tiba kendaraan pada jalur yang sedang hijau.
Sekitar semenit bertanya-tanya bingung dalam hati, dari arah Timur dua kendaraan melaju beriringan. Tidak ada bunyi sirine, tetapi seorang polisi bermotor di depan barisan dan sebuah mobil kijang -khalayak di sini menyebut semua yang bermoncong panjang sebagai kijang- bercat hijau tentara dengan kaca berlapis plat film hitam mengikuti di belakang, pertanda orang penting sedang lewat.
Yaelah. Ini orang penting sebegitu sibuk dan padatkah kegiatannya hingga 1-2 menit pun tidak boleh dibuang untuk mengikuti pola normal lampu merah? Halah, paling juga bertemu sebentar dengan sejumlah pejabat Pemda, sore hari ia dan rombongan sudah menikmati ikan bakar di resto pinggiran pantai.
Atau mungkin ia takut dibunuh kalau ikut berhenti di lampur merah? Haish. Memangnya dirinya sepenting dan sekontroversial Pak W*r*nto?
Waktu kecil dahulu saya pikir yang diperkenankan secara legal menerobos lampu merah dan mendapat pengawalan polisi hanya presiden, menteri-menteri, ketua MPR dan Ketua DPR, serta jenazah dan pasien gawat darurat yang diangkut ambulans.
Beberapa tahun terakhir ini, setelah hampir setiap minggu mengalami kejadian serupa, saya duga para pejabat kurang penting juga diberikan kesempatan mencicipi perlakuan istimewa, boleh mengubah lampu merah jadi hijau dan sebaliknya.
Sangkaan bahwa mereka tidak cukup penting -bukan presiden, menteri-menteri, dan para ketua lembaga tinggi negara,- disebabkan kedatangan mereka tidak diberitakan media massa sebelum dan sesudahnya. Selain itu, rombongannya pun hanya 1 motor polisi dan 1 mobil yang biasanya bercat hijau tentara.
Saya tidak tahu jika memang regulasi protokol pengawalan orang-orang besar sudah diubah menjadi lebih ramah pejabat menengah -namun kian bikin susah rakyat- atau ini terjadi karena ada kecenderungan nginjek ke bawah njilat ke atas, kekhasan birokrasi bermental kolonial campur inlander yang belum luntur.