Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lelaki Penulis yang Menikahi Imajinasi Sendiri

4 Maret 2020   02:49 Diperbarui: 6 Maret 2020   05:24 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ehem. Itu  Anne, bersama mantan muridnya, Helen," kata saya, memancing percakapan setelah berdiri di sisi seberang mejanya.

Ia  kaget; buru-buru memalingkan kepala dan tatapan dari jendela kedai; sejenak kembali ke buku catatan bersampul kulit sapi, sebelum menatap saya dengan gugup.

Dalam kosa kata generasi X hingga angkatan awal milenial, itu buku agenda, bentuk lebih formal dari diari dan notes namun kerap berfungsi serupa. Mungkin karena buku seperti itu sering digunakan oleh orang-orang sibuk untuk menulis janji-janji pertemuan dan deadline tuggas-tugas penting. Tetapi lebih banyak yang menggunakannya untuk menuliskan penggalan-penggalan kesadaran, informasi, atau apapun itu yang sekelebat muncul di kala senggang pun refleksi di ujung malam.

"Apa yang sedang kautulis?"

"Errr, cuma beberapa paragraf singkat yang pecah ... err lebih pas letupan-letupan gagasan yang akan ditempelkan pada sebuah biografi yang akan jadi buku perdanaku."

Ia bicara sambil seolah-olah membetulkan letak kacamata. Padahal kacamata itu bergeming nyaman pada batang hidung yang tiada pernah saya lihat bercokol di wajah orang-orang Asia. Tegar seperti gundukan bukit-bukit di Raja Ampat.

Lalu jemari lengan kirinya berpindah ke rambut, membuat gerakan samar menyisir untuk menegaskan kembali demarkasi antara belahan rambut sisi kiri dan kanan, terbagi dua nyaris simetris. Tatanan rambut seperti itu hanya pernah saya lihat pada sejumlah kawan kelas semasa SD; terbatas pada mereka yang terlalu erat digenggam ibunya, yang memandang tatanan selain belah tengah adalah simbol anak badung.

Kalau mau diringkas, wajahnya perpaduan Hitler, Gramsci, Al Pacino dan Leonardo diCaprio, menghasilkan pencampuran seimbang maskulin dan feminin.

Hmmm, gerakan tanpa alasan begitu lazimnya ekspresi bawah sadar, lahir dari  kerikuhan yang menolak disembunyikan. Mungkin ia malu saat menyadari ada yang memergokinya tengah terpana pada sosok sepasang perempuan yang melintasi jendela kedai.

Lebih tepatnya, pancaran terpesona pada sepasang mata itu ditujukan pada Anne, guru lajang 35 tahun. Sementara Helen, si murid, gadis 24 tahun, dihargainya setara setangkai magnolia yang hadir khusus untuk mempercantik Anne.

Di matanya, Anne lah accusativus, Helen cuma genetivus. Amo agricolae filiam, "kucinta si gadis anak petani." Anne lah filiam, "si gadis," sementara Helen cuma agricolae, "petani" yang menegaskan Anne.

"Oh iya, silakan duduk."

Saya menarik kursi kayu di hadapannya, lalu duduk pada sisi seberang meja, berhadap-hadapan muka.

Kedai masih sepi. Hanya ada dua pengujung lain, terpaut tiga meja jauhnya dari tempat kami, nyaris di pojok. Keduanya tampak terlibat percakapan sengit. 

Sesekali dua orang itu bertentangan pendapat, tentang potensi dan tantangan hari esok oleh perkembangan pabrik baja, terdengar mereka beberapa kali menyebut Andrew Carnegie dan Bank J. P. Morgan; tuntutan buruh untuk kebijakan pengurangan jam kerja, penanganan penyakit di kawasan industri, dan keselamatan kerja; hingga soal kebijakan pemerintah menangani ledakan imigran dari Eropa.

Tidak jarang pula keduanya tertawa terbahak-bahak, membicarakan hal-hal konyol dari kebijakan Roosevelt, membanding-bandingkan sejumlah hal dengan---menurut mereka---kebodohan pendahulunya, William McKinley.

"Setelah McKinley dungu itu bikin gulung tikar pabrik-pabrik Eropa dengan proteksionisnya, kini Roosevelt, si dungu yang lain kebingungan menghadapi banjir imigran dari negeri nenek moyangnya," kata salah seorang yang berkumis baplang kecoklatan, ditimpali tertawa ngakak panjang kawannya. "Tos," seru keduanya sembari menubrukan gelas whiskey dengan riang.

Di negara bagian ini, percakapan politik yang panas sudah jadi tradisi, yang paling menonjol sejak masa perang sipil beberapa dekade lalu.

"Mereka orang-orang Republikan radikal," kata lelaki di depanku setengah berbisik.

"Oh, iya, tadi kaubilang sedang menulis biografi. Siapa?"

"Edgar ... Edgar Poe."

"Edgar Alan Poe?"

Ia mengangguk.

"Wow! Sang Cerpenis."

"Ya, Penyair."

"Kau suka karya-karyanya?"

"Errr, sebenarnya tidak terlalu."

"Hmmm. Saya pun begitu. Terlalu melebih-lebihkan emosi, pengalaman personal, dan pilihan bebas. Fokus berlebihan pada eksistensi pribadi. Mungkin karena seperti nenek moyang Inggrisnya, mereka berusaha terlalu keras membebaskan diri dari kungkungan Calvinisme."

"Oh, kau lumayan awas terhadap perkembangan literatur rupanya. Itu poin yang menarik. Izinkan kucatat, siapa tahu bisa jadi tema bukuku kelak. Errrr ... Jiwa sastra Amerika... Ya! Terima kasih. Aku bahkan bisa membayangkan judulnya." Ia menatap saya dengan mata berbinar-binar.

"Tetapi sepertinya kau terlalu memandang negatif romantisme Amerika, seolah tak ada sumbangan berarti mereka bagi kemanusiaan," lanjutnya tetapi kini dengan tatapan penuh selidik.

"Ah, maaf, jangan salah tanggap. Semua karya berkontribusi positif ... eee tentu juga negatif, seperti pedang mata dua, bagi kemajuan peradaban. Saya menghormati romantisme sebab melihat potensi mereka menyumbang besar pada demokrasi, maksud saya demokrasi politik... hak sipil politik. Tanpa itu semua  kita tidak beda dengan binatang, bukan?"

Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh, menyempatkan mencatat beberapa hal sambil mengangguk-angguk, menyebabkan formasi rambut sisir belahnya sedikit terburai, meski tidak porak-poranda.

"Nice points. Oh iya, tetapi kita belum berkenalan sejak tadi. Kauboleh memanggilku John atau Albert." Ia mengulur tangan. Saya menyambutnya. Genggamannya erat. Itulah yang terjadi ketika seseorang mengajak ngobrol tema yang jadi passion kita. Antuasiasme  adalah energi yang bertansformasi ke dalam otot-otot telapak tangan.

"Hmmm, bagaimana jika Johnny saja? Jika kau tak keberatan tentunya. Kauboleh menyapa saya Jyestha. Cukup Jyestha." Dalam hati saya tersenyum. Johnny akan jadi sapaan kesayangan Anne kepadanya, diucapkan dengan cinta dan gairah yang suci.

"Baiklah, Jyestha. Johnny bagus juga. Belum pernah ada yang menyapaku begitu. Memang sesekali dahulu ibuku menggunakannya, terutama ketika ingin aku duduk di sampingnya, mendengarkan ia berkisah tentang orang-orang suci dari Holy Roman Empire, para pahlawan Perang Salib, atau membacakanku satu-dua halaman Injil."

Lalu percakapan mengalir ke sana kemari, mulai dari karya-karya sastra dan gosip seputar para penulisnya, tidak afdol tanpa menyerempet nama Dickinson, Melville, Waldo Emerson, Thoreau, Fenimore Cooper, Washington Irving, dan tentu saja Allan Poe; hingga ke gagasan-gagasan progresif Norman Thomas, Eugene Debs, Darlington Hoopes, dan sejumlah nama lain yang tidak sempat saya catat, pun tak bisa saya ingat.

Begitulah pertemuan perdana kami, terjadi di bulan Maret tanggal empat di kedai tuak, maksud saya  whiskey, gin, rye, dan bourbon, sekitar 30 meter di sebelah utara lokasi Feeding Hills Congregational, bangunan gereja yang bisa dijadikan penanda Feeding Hills. Ini wilayah sepi di kota kecil, Agawam di Hampden County, Massachusetts.

Oh iya, saat ini tahun 1904, sekitar satu dekade sebelum dunia berderab dalam perang dunia.

[Bersambung]

setapak pendek menuju IWD,

satu-dua keping pecah  seri Jyestha si Penjelajah Waktu


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun