Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bu Mega Soal Paksa Anak, Menuding Gibran, AHY, atau Otoritik Puan?

21 Februari 2020   10:24 Diperbarui: 21 Februari 2020   10:43 5594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megawati Soekarnoputri [Detik.com]

Kalau cuma membaca judul, pernyataan Bu Megawati soal anak jangan dipaksa berpolitik memaksa kepala ini menghadirkan sosok Puan Maharani, Gibran Rakabuming, dan Agus Harimurti Yudhoyono. 

Apakah Bu Mega kesal karena Gibran dimaju-majukan sebagai Cawalkot Surakarta? Apakah Bu Megawati sedang mengkritik pola asuh anak sesama tokoh bangsa, Pak SBY? Atau beliau sedang melakukan otokritik, menilai Bu Puan Maharani kurang kapasitas dan karena itu menyesalinya?

Tetapi kalau membaca lebih jauh, memeriksa dari sumber-sumber yang menyajikan informasi lebih lengkap, jelaslah bahwa bukan Puan Maharani dan Gibran yang dimaksud Bu Mega.

Bu Mega bicara spesifik tentang momentum politik 2024. Sudah pasti Gibran tidak masuk kategori anak yang dipaksa-paksa maju sebab Pilwakot Surakarta akan sebentar lagi. 

Bu Megawati, dalam kesempatan yang sama, sekaligus membela dirinya dan Puan, bahwa ia bukanlah tipe emak pemaksa kehendak kepada anak. Puan juga menjadi Ketua DPR RI karena ketentuan undang-undang. Sebagai peraih suara terbanyak, kursi Ketua DPR RI sudah jadi hak Puan.

Berarti tinggal AHY putra Pak SBY kemungkinan yang dimaksud Bu Megawati. Apakah benar begitu?

Soal AHY akan dimajukan dalam Pilpres 2024 memang tidak pernah datang dari mulut SBY atau AHY. Adalah publik yang menilainya demikian semenjak AHY dipanggil pulang, ditarik dari ketentaraan untuk maju dalam Pilgub DKI silam. Banyak yang menilai, pilgub DKI hanya momentum soft-launching AHY untuk Pilpres, yang ketika ternyata tidak jadi 2019, mungkin akan 2024.

Menduga pernyataan Bu Megawati terkait AHY adalah sangat kuat. Beberapa hari terakhir, tidak lama sebelum pernyataan Bu Megawati, media massa ramai memberitakan pernyataan AHY akan maju dalam Pilpres mendatang.

Kini, berbagai warta itu dibantah orang-orang Partai Demokrat, jubir AHY sudah mengklarifikasi bahwa majikannya, eh maksud saya pimpinannya, tidak pernah menyatakan akan maju sebagai capres pada 2024 nanti. AHY bicara dalam konteks menjawab pertanyaan wartawan yang menjurus ke situ, tetapi secara diplomatis menyatakan ia akan terus mempersiapkan diri untuk tugas yang diberikan partainya.

Memeriksa pemberitaan sejumlah media di tanggal kejadian, klarifikasi kubu AHY jujur adanya. AHY tidak pernah bilang secara lugas ia akan maju dalam pilpres.

Tetapi dari jawaban diplomatis AHY kita tahu bahwa ia mempersiapkan diri bagi kemungkinan itu, andai memang dinamika politik membuka peluang baginya.

Klarifikasi kubu AHY ini terasa seperti khusus untuk merespon kritik Bu Megawati. Media massa dan para penulis politik tentu senang sebab ini membuka peluang rentetan kehebohan oleh saling lempar sindiran antara dua kubu.

Pertanyaannya, pentingkah hal ini mendapat porsi dalam perbincangan kita?

Jika pernyataan Bu Megawati dimaknai sebagai serangan terhadap kubu AHY, saya kira tidak penting membicarakannya atau menuliskannya selain demi meraup view. Untuk apa Bu Megawati mencampuri urusan Pak SBY dan Partai Demokrat? Bukankah dahulu Puan Maharani terjun ke politik dalam kondisi masih sehijau AHY?

Tetapi jika pernyataan Bu Megawati dimaknai sebagai otokritik, tak harus terkait Puan, tetapi terkait kecenderungan umumnya elit-elit parpol (di PDIP) menggelar karpet merah bagi anak-anak mereka untuk meneruskan estafet karir politik orang tua, pernyataan tersebut menjadi penting. Setidaknya khusus di lingkungan internal PDIP, pernyataan Ketua Umum sepatutnya menjadi bahan permenungan.

Tetapi saya sangat mengharapkan energi para petinggi parpol saat ini dicurahkan untuk bersama-sama menilai sejumlah produk hukum dan kebijakan kontroversial yang dikeluarkan Pemerintahan Pak Joko Widodo. Apalagi PDIP, sebagai rumah politik Jokowi, PDIP seharusnya sadar akan tanggungjawabnya untuk memastikan produk legislasi, terutama RUU Cipta Kerja tidak membawa bangsa ini kian jauh dari perwujudan Trisakti Bung Karno.

Atau apakah jangan-jangan bau neoliberal dalam RUU Cipta Karya memang datang dari PDIP dan bukannya hasil penelikungan gerombolan kapitalis serabutan di lingkar dalam kekuasaan? Kita menunggu pidato Bu Megawati soal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun