Beberapa kali mengunjungi Timor, Pak SA melihat peluang lain, mendirikan pabrik toren air. Timor kering, masyarakat butuh wadah penyimpanan air.
Ketika proyek kemitraan kami berakhir---lebih karena para petinggi yang jadi badan pengurus lembaga memutuskan membubarkan lembaga karena sudah capek mengurusnya---mulailah Pak SA berjalan dengan pabrik torennya.
Saya dan staf lokal Pak SA---saya pula yang ia minta merekomendasikan orang ini dahulu---diminta untuk menjadi mitranya, ikut menanam modal.
Saya akhirnya cabut karena sedang butuh duit untuk hal lain (nggak punya cukup duit untuk jadi kapitalis). Sementara si kawan yang jadi staf lokal ditanggung Pak SA pernyertaan modalnya hingga kelak setelah perusahaan break even point, bisa ia cicil pengembaliannya. Hanya butuh setahun bagi perusahaan untuk balik modal.
Ada dua hal menarik saat survei kelayakan pabrik toren. Yang pertama, di Kupang saat itu sudah ada 3 pabrik toren. Ketika survei, tampaklah bahwa kualitas toren yang ada tergolong kelas 3 dan 4.
"Oh, kita buat yang kelas dua, kita jual setara harga mereka," kata Pak SA. Toren kelas 2 itu setara kualitas sebuah merek pabrikan Surabaya, sementara kelas satu adalah produksi sebuah pabrik di Jakarta.
"Nggak rugi tuh, Pak?"
"Nggak. Ngambil untung jangan besar-besar. Saya asalkan mesin hidup, buruh bisa makan. Jadi yang penting permintaannya bisa sesuai kapasitas mesin, jangan kurang. Mesin mati, uang tidak masuk, buruh tidak digaji, bisa dimarahi keluarga saya."
"Oh, jadi yang penting buruh bisa tetap digaji ya, Pak?"
"Kan saya yang ajak mereka kerja, tanggung jawab saya pastikan mereka dapat gaji."
Saya pernah penasaran bertanya, "Sikap Bapak terhadap kenaikkan UMP DKI yang lumayan tinggi bagaimana?" Waktu itu Ahok masih Gubernur DKI.