Pasal 66 ayat (1) UU 13/2003 mengatur: "Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi."
Dalam draft UU Cilaka, butir 18, pasal 66 ayat (1) diubah menjadi :Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerjaburuh yang dipekerjakannya didadasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu."
Ketentuan ini menambah-nambah kesialan buruh. Kalau sebelumnya UU 13/2003 melarang pekerjaan pokok berstatus outsourcing (Pasal 66) dan buruh kontrak (Pasal 59), maka kini dua hal tersebut dibolehkan dalam draft UU Cilaka.Â
Itu artinya, penjahit pada perusahaan garment, wartawan di perusahaan media massa, guru di sekolah, akuntan di perusahaan akuntan publik, perawat di rumah sakit, dan lain-lain bentuk-bentuk pekerjaan pokok boleh berstatus kontrak dan outsourcing seumur hidup.
Demikianlah, selain sejumlah maslahat yang dikandungnya, draft UU Cilaka ini memang berpotensi bikin buruh cilaka.
Pada artikel ke depan, kita akan membahas bagaimana tiga ketentuan, yaitu penghapusan pasal 59, perubahan pasal 66, serta ketentuan upah minimum diskriminatif bagi UMK dan sektor padat karya secara bersama-sama akan berdampak pada menjamurnya sweatshop.Â
Artinya, UU Cilaka melegalisasi sweatshop, praktik perburuhan yang dalam 2 hingga 1 dekade lalu menjadi musuh besar serikat dan lembaga-lembaga perburuhan se-dunia.***
Baca artikel lain tentang Perburuhan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H