Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mawar Valentine Terakhir Terlambat Tiba

13 Februari 2020   20:24 Diperbarui: 14 Februari 2020   08:19 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mawar Valentine [aol.com]

Anik merasa otot-otot kakinya sungguh ngilu. Rasa lapar yang mendera sejak sore tadi sudah pergi diam-diam. Mungkin rasa itu capai juga, atau ia bosan menggedor-gedor lambung berjam-jam tanpa tanggapan. Rupanya lapar itu tak setabah majikan Korea, yang sanggup mendengar keluhan buruh bertahun-tahun tanpa berbuat sesuatu apapun.

Hari ini Aniek sudah berdiri di depan mesin sejak jam 7 pagi dan baru menyelesaikan jahitan terakhir pada pukul 10 malam. Demi tunggakan utang-utang terbayar, ia harus bekerja dua kali lebih lama sebab kemarin ia tidak kebagian jam kerja.

Sudah tiga bulan sejak pemberlakuan undang-undang celaka itu, jam kerja jadi seperti siklus bulanan perempuan usia 40an. Manajer mengumumkan order jam kerja via grup whatsapp. Tidak tentu waktunya. Kadang dalam 1x24 jam 3 shift aktif seluruhnya. Tetapi ada pula seharian tanpa pekerjaan.

CERPEN | Valentine Almirah, Gadis Penjual Bunga

Kadang-kadang 1 shift on, tetapi hanya butuh 10 orang buruh. Pak Mahmud, personalia yang ngeres sering menyebut shif yang hanya butuh 10-15 orang itu sebagai shift perawan. "Sebab masuknya susah," jawabnya mempertontonkan barisan gigi kuning oleh tembaku jika diprotes buruh-buruh.

Kalau pabrik sedang tiada order, dan karena itu orang personalia tidak muncul seharian di grup WA, atau jika tidak beruntung adu cepat melamar shif perawan,  buruh-buruh pabrik duduk melongo di kos-kosan, bermain remi, pun sekadar bergosip ditemani teh dan tahu utangan warung di mulut gang. Lalu demi mempertahankan tingkat upah bulanan konstan, mereka melamar lebih dari satu shift di hari-hari pabrik kebanjiran order.

Aniek tidak punya tenaga lagi untuk mandi, atau bahkan sekadar merebus mie. Kasur dan bantal adalah satu-satunya yang ia butuhkan saat ini.

Tetapi baru saja bisikan Amin menutup percakapannya dengan Sang Ilahi, terdengar ketukan pada pintu  kamar kos. Ketukan itu seperti datang dari kenangan yang sudah coba ia kubur jauh-jauh sebab teramat menyedihkan untuk dipertahankan. Aniek tidak mau terjebak pada masa lalu, sekalipun itu penggalan paling mahal dalam hidupnya.

"Hidup ini sudah berat oleh shift double dan tunggakan-tunggakan utang. Mengapa pula harus ditambah beban emosi" Demikian selalu batinnya membela diri ketika muncul rasa bersalah sudah menguburkan kenangan-kenangan indah yang berakhir pahit.

Dengan langkah kaki terseret, Aniek menuju pintu.

"Somad?"

Lelaki itu tampak sangat bersih malam ini, mengenakan celana jeans hitam yang entah ia pinjam dari siapa, dan kaos oblong putih bertuliskan "Kami Bukan Sapi Perah" dan tampak sangat baru, seperti baru saja dicuci pakai sebotol penuh baycl***. Sekuntum mawar merah tersenyum di genggamannya.

"Maaf, mengganggumu. Saya hanya mau kasih bunga ini. Tidak sempat saya berikan tahun lalu."

Aniek menerimanya dalam diam. Lidahnya begitu kelu untuk sekadar bilang sepatah kata.

"Happy Valentine, sayang." Somad mengecup kening Aniek lalu berbalik pergi. Di balik pagar, gelap malam merengkuhnya, menyembunyikan tubuh jangkung itu dari pandangan Aniek.

Lutut-lutut Aniek gemetaran. Perempuan itu jatuh tertuduk lalu terisak.

Setahun lalu, sekitar pukul 9 malam Somad terjatuh saat bekerja di proyek konsturksi flyover. Ia tewas seketika sebab perusahaan tidak menyediakan fasilitas pengaman.

Saat itu, dibantu LBH dan serikat buruh, Aniek memperkarakan perusahaan tersebut. Tetapi mereka kalah bahkan sebelum maju ke persidangan. Para pembesar di kota, bahkan ketua RT mendesak Aniek dan kawan-kawan agar merelakan kematian Somad.

"Kita sedang butuh investasi. Kalau buruh menuntut macam-macam dari perusahaan, semua investor akan kabur. Jadinya semua buruh dikorbankan, kehilangan pekerjaan. Tolong jangan pikirkan diri sendiri," begitu kata Pak Danramil saat mendatangi Ibunda Aniek di desa sana.

Sang Ibunda pun menulis surat agar Aniek menuruti kata pembesar. "Demi kepentingan bangsa, Nduk," tulis ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun