Pandangan Bung Karno tidak demikian adanya. Saya sudah pernah menulis tentang ini dalam artikel "Cadar, Atribut dan Simalakama Kebijakan," 2 tahun lalu.
Bung Karno menempatkan Pancasila sebagai dasar negara, Â idelogi bangsa yang menyatukan komponen-komponen yang berbeda, organisasi-organisasi dan golongan yang bermacam-macam orientasi idelogisnya.
Dalam pidato berjudul  "Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia," disampaikan dalam Pertemuan Gerakan Pembela Pancasila, 17 Juni 1954, Bung Karno katakan,
"PNI tetaplah kepada azas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI berazas Marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. ...
Pancasila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara jika kita tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini.
Negara adalah "wadah". Dari territour Sabang sampai ke Merauke ini adalah harus terbentang satu wadah yang besar. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. ... siapapun, ingin masukkan ideologi, masukkanlah di dalam masyarakat ini! ... beda antara wadah dengan masyarakat yang di dalam wadah ini.
... ini wadah diisi air, engkau mau apa, airnya diisi dengan warna apa, warna hijau ... warna merah ... kuning ... hitam, .... Airnya yang harus diisi, bukan wadahnya. Wadahnya biar tetap dengan berdasarkan Pancasila, tetap terbuat daripada elemen-elemen Pancasila ini."
Soekarno menginginkan bangsa Indonesia terdidik menerima keberagaman, mengakui perbedaan-perbedaan, hidup dalam kebegaraman. Sementara Orde Baru memilih jalan mudah penyeragaman.
Sayangnya, penyeragaman a la Orde Baru justru merawat bara dalam sekam, menjadikannya bom waktu yang meledak pascareformasi. Orang-orang memanfaatkan kebebasan yang ada untuk menunjukkan dirinya, melampaiskan hasrat yang lama terkungkung. Sial, orang-orang yang berbeda identitas dijadikan objek pelampiasan, dame de voyage.
Yang harus dilakukan saat ini justru kembali ke pandangan Soekarno. Bukannya perbedaan dan kekhasan yang disembunyikan, melainkan penerimaan atas perbedaan itu yang harus dibangun. Individu dan kelompok boleh-boleh saja memiliki kekhasan, memiliki nilai-nilai yang ditegakkan ke dalam, tetapi dalam perjumpaan dengan individu dan kelompok lain di beranda bangsa, nilai-nilai bersama itu, Pancasila, yang harus ditegakkan.
Saya kira tidak susah membudayakan kembali penerimaan atas perbedaan seperti di zaman Majapahit dahulu. Yang dibutuhkan adalah pemerintah yang responsif. Jangan seperti yang sudah-sudah, terjadi pelarangan kebebasan beribadah di suatu tempat, penyerangan rumah ibadah di sejumlah daerah, malah kesannya kelompok minoritas yang disuruh mengalah agar jangan beribadah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H