Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sepatu Kotor Jokowi dan EFEKTIVITAS Kerja...Kerja...Kerja

9 Oktober 2019   08:59 Diperbarui: 11 Oktober 2019   07:55 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepatu kotor Presiden Jokowi [eramuslim.com]

Suatu ketika kelak, bolehlah Presiden Jokowi dianugerahi predikat duta sepatu nasional. Baru di masa beliau sepatu terangkat statusnya, menjadi printilan penting urusan memimpin negara dan pemerintahan. Dalam banyak kesempatan lawatan kerja, sepatu presiden turut jadi bahan berita dan gunjingan di media sosial.

Kiranya sepatu di era Jokowi hadir dengan dua fungsi pokok. Yang pertama ia alat mempromosikan semangat cinta produk dalam negeri. Di antara sepatu-sepatu presiden Jokowi yang masuk pemberitaan, paling banyak merupakan produk dalam negeri. Itu bagus.

Yang kedua, sepatu sepertinya sudah jadi simbol rezim kerja...kerja...kerja, presiden yang bersedia terjun lapangan untuk mengonfirmasi laporan para anak buah yang mungkin lebih banyak manisnya.

Itu sebabnya, sepatu Jokowi yang kerap muncul dalam pemberitaan adalah sepatu olahraga, sepatu kets yang sporty. Orang-orang yang biasa turun ke lapangan tentu lebih senang mengenakan sepatu demikian dibandingkan sepatu kulit mengkilap milik pejabat gaya lama.

Pada masa kemarin-kemarin, sepatu Jokowi menghadirkan publikasi positif. Orang-orang senang, juga terharu melihatnya. "Lihatlah presiden kita, itu," kata mereka sembari meng-klik ikon jempol di pojok tautan pada facebook atau me-retwit postingan serupa di twitter.

Tetapi tak ada kampanye yang tak lekang waktu, tak kenal musim. Gaya kampanye yang efektif di hari kemarin, mungkin saja mengundang bosan hari ini. Apalagi jika harapan publik sudah naik lebih tinggi.

Hal ini yang mungkin kurang awas dipertimbangkan Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung ketika tempo hari mengunggah foto sepatu kotor presiden dan sejumlah menteri sepulang menengok kawasan hutan terbakar.

Pak Menteri bermaksud baik. Ia ingin memberi tahu rakyat, lihat nih, Presiden Jokowi dan jajaran menterinya tidak tutup mata terhadap bencana kebakaran hutan di sejumlah provinsi. 

Tingginya kepedulian presiden dibuktikan dengan terbang langsung ke salah satu lokasi bencana, ikut masuk ke kawasan yang terbakar. Buktinya adalah sepatu presiden dan menteri-menteri dalam rombongan menjadi kotor oleh abu bakaran. Foto sepatu kotor presiden dan menteri-menteri itu Pak Pramono foto dan unggah ke media sosial.

Sayangnya, foto itu ramai mengundang tanggapan yang banyak pula negatifnya. Bukan cuma politisi Gerindra seperti Pak Fadli Zon dan Pak Andrew Rosiade, seperti yang sudah kita maklumi, yang memberi tanggapan menyakitkan hati. Warganet juga banyak yang melontarkan komentar tak enak dibaca.

Rupanya lima tahun masa pemerintahan kemarin, Presiden Jokowi sudah sukses menaikkan standar gaya pemerintahan, menetapkan benchmark: pemimpin harus terjun langsung ke lapangan agar tak tertipu laporan ABS.

Kini, masyarakat menaikkan standar. Mereka tak puas cuma melihat sosok presiden yang konsisten dengan prinsip "kerja...kerja...kerja." Mereka mau yang lebih tinggi lagi: kerja ... kerja ... kerja harus berbuah konkrit, terang-benderang. Mereka inginkan kerja yang efektif menghasilkan manfaat jelas, yang clear tanpa bisa diperdebatkan lagi. Begitulah rakyat.

"Seharusnya ketika presiden ke sana itu bukan beliau datang untuk kotor-kotor, tapi untuk menyelesaikan. Apa perintahnya terkait proses penyelesaian karhutla ini," kata Deputi Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Fandi Rahman.

Andai yang pemerintah hadapi adalah evaluator profesional, tentu yang dicek adalah indikator-indikator dari program-program intervensi pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan.

Apakah sudah ada helikopter yang disiagakan untuk respon cepat kebakaran hutan? Apakah jumahnya meningkat?

Apakah ada peningkatan kapasitas kelembagaan penanganan bencana kebakaran hutan? Adakah landasan hukum yang mengatur rantai komando dan SOP unit khusus yang urusan ini? Apakah personil, peralatan dan anggaran mereka naik? Adakah road map untuk menekan peristiwa kebakaran hingga zero tolerance? Apakah langkah-langkah sungguh dilakukan sesuai road map?

Bagaimana dengan penegakan aturan? Seberapa banyak kasus yang ditemukan pelakunya? Apakah para pelaku berhasil diseret ke pengadilan? Apakah mereka sudah menjalani hukuman? Apakah mereka sudah membayar ganti rugi?

Bagaimana dengan langkah-langkah pencegahan? Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah? Apakah indikator dari beragam bentuk intervensi itu tercapai sesuai rencana?  Jika tidak, apa sebabnya? Bagaimana pemerintah mengantisipasi kekurangan dalam output intervensi sesuai indikator yang ditetapkan dalam rencana?

Pertanyaan-pertanyaan di atas yang akan diajukan evaluator professional. Ia akan memeriksa ketepatan dan kecocokan intervensi dengan outcome dan impact. Ia akan mengecek indikator-indikator output pelaksanaan intervensi.

Jika yang diperiksa pertanyaan-pertanyaan di atas tentu cukup banyak poin positifnya. Sayangnya, rakyat tidak mau pusing dengan urusan begituan. Sudah suratan hukum sosial jika rakyat itu maunya ya lihat hasil yang konkrit, tanda-tanda yang gamblang.

Dahulu foto sepatu kotor adalah tanda efektif untuk mengkomunikasikan kepada publik bahwa presiden kita seorang pekerja keras. Sayang, rupanya sebagian rakyat juga sudah tidak terlalu peduli apakah presiden turun langsung atau tidak. 

Mereka kini lebih senang melihat hasil yang nyata. Dan yang nyata dari penanganan kebakaran hutan adalah sudah tak terjadi lagi kebakaran hutan, tak peduli sepatu presiden kotor atau tidak.

Beberapa hari lalu saya menonton talk show tv. Saya lupa namanya dan di tv apa. Dua wartawan senior Kompas yang bertugas di istana hadir sebagai bintang tamu. Yang pertama adalah Pak Osdar, wartawan kepresidenan sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yang seorang lagi Pak Wisnu Nugroho, pemred Kompas.com yang juga pernah bertugas di istana di era SBY.

Menarik jawaban Pak Wisnu saat ditanya apa tantangan wartawan istana di era Jokowi. Ia katakan Presiden saat ini lebih tahu apa yang dibutuhkan wartawan. Hal yang dahulu susah payah dicari wartawan, kini diberikan dengan berlimpah. 

Presiden ber-moge, gunakan jeans, bersepatu sneakers, dan banyak gimmick-gimmick unsur human interest istana yang sangat menarik untuk diberitakan.

Tantangan bagi wartawan saat ini justru bukan lagi mencari gimmick-gimmick pemberitaan melainkan mengembalikan semuanya ke hakikat, ke konten yang sebenarnya, yaitu apa manfaat dari kebijakan-kebijakan bagi rakyat.

Ya. Rupanya rakyat juga sudah mulai jenuh dengan aneka gimmick. Mereka butuh sesuatu yang lebih, yang hakikat: dampak dari kebijakan, buah nyata dari kerja ... kerja ... kerja.

Hmmmm. Sepertinya sudah saatnya para menteri mengganti akun media sosial di telepon pintar mereka dengan aplikasi pembuat grafik. Dengan begitu mereka bisa melemparkan ke publik gambar-gambar perbandingan angka capaian dan kinerja tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya. 

Tentu saja supaya bisa membuat grafik seperti itu, para menteri harus punya mental berorientasi kinerja, bukan kampanye. Juga tentu saja capaian konkrit harus ada dulu.***

Published juga di blog pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun