Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Long Shot", Ketika Otokritik Megawati Dijadikan Film

18 Agustus 2019   06:09 Diperbarui: 18 Agustus 2019   06:14 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" PDI Perjuangan harus bekerja dalam masyarakat yang semakin pragmatis, transaksional, dan berpikir instant untuk kepentingan individual berjangka pendek. .... Kita juga harus bekerja di dalam situasi "citra" menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi. Kita harus berhadapan dengan sebuah rezim politik yang cenderung menggunakan metode menghalalkan cara dalam mencapai tujuan politiknya ..."

Paragraf di atas adalah fragmen pidato Megawati Soekarnoputri dalam pembukaan Kongres III PDIP 9 tahun silam. Itu adalah pidato otokritik paling lengkap yang pernah disampaikan Megawati. Di antara begitu banyak hal yang jadi bahan evaluasi, politik pencitraan adalah salah satunya.

Delapan tahun kemudian, Megawati masih melancarkan kritik-otokritik serupa, tetapi kali ini dijadikan bagian dari gambar besar masyarakat pascakebenaran. Dalam pidato 10 Juni 2018, "Pancasila Bintang Penuntun Indonesia Raya," ia katakan,

"Politik hanya menjadi arena transaksi-transaksi ekonomi bagi individu dan kelompok tertentu. Tidak ada tempat bagi ideologi dalam permainan politik seperti itu. Yang terpenting bagi penganut post-truth adalah bagaimana mampu mengemas citra postif di media dan media sosial. Citra yang acapkali berbanding terbalik dengan kerja politik di dunia nyata. Mereka pun tidak ambil pusing, jika kebijakan yang dibuat tidak memberi solusi bagi problem yang dihadapi rakyat. Mereka tidak akan peduli, jika kebijakannya justru menambah beban rakyat. Bagi mereka, yang penting menjadi trending topic, yang penting terpilih dan terpilih lagi, saat pemilihan legislatif atau eksekutif."

Megawati mengamati, praktik politik di Indonesia bermasalah. Akar masalahnya terletak pada ketiadaan landasan (ideologi) berpolitik dan kesesatan dalam tujuan politik (sekadar untuk kekuasaan). Dua hal ini berdampak pada maraknya praktik politik pencitraan.

Dan Sterling dan Liz Hannah mungkin tak pernah tahu pidato Megawati ketika keduanya menulis nahkah  Long Shot. Tetapi keduanya berbagi keresahan dan kritik dengan Megawati dalam film komedi politik-romantis ini.

Long Shot sama-sama film layar lebar kedua yang ditulis Dan Sterling dan Liz Hannah. Sebelum Long Shot, Dan Sterling menulis naskah The Interview, satire politis Amerika Serikat yang tayang 2014 silam. 

Sementara Hannah adalah penulis sekaligus co-producer The Post, film sejarah politik (dan media) Amerika Serikat yang meraih Golden Globe Award untuk kategori Best Screenplay.

Sebagai penulis naskah film-film bertema politik, meski portofolio keduanya belum cukup panjang, ketajaman pengamatan keduanya terhadap kondisi perpolitikan, terutama di Amerika Serikat patut diacungi jempol. Demikian pula kemampuan keduanya mengemas kritik dalam komedi satire. Kemampuan itu kembali terbukti dalam Long Shot.

Adegan satire sudah muncul sejak menit-menit awal. Sekretaris Negara Amerika Serikat (yang juga bertanggungjawab atas urusan luar negeri), Charlotte Field memutuskan maju sebagai capres perempuan pertama dalam pilpres mendatang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun