" PDI Perjuangan harus bekerja dalam masyarakat yang semakin pragmatis, transaksional, dan berpikir instant untuk kepentingan individual berjangka pendek. .... Kita juga harus bekerja di dalam situasi "citra" menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi. Kita harus berhadapan dengan sebuah rezim politik yang cenderung menggunakan metode menghalalkan cara dalam mencapai tujuan politiknya ..."
Paragraf di atas adalah fragmen pidato Megawati Soekarnoputri dalam pembukaan Kongres III PDIP 9 tahun silam. Itu adalah pidato otokritik paling lengkap yang pernah disampaikan Megawati. Di antara begitu banyak hal yang jadi bahan evaluasi, politik pencitraan adalah salah satunya.
Delapan tahun kemudian, Megawati masih melancarkan kritik-otokritik serupa, tetapi kali ini dijadikan bagian dari gambar besar masyarakat pascakebenaran. Dalam pidato 10 Juni 2018, "Pancasila Bintang Penuntun Indonesia Raya," ia katakan,
"Politik hanya menjadi arena transaksi-transaksi ekonomi bagi individu dan kelompok tertentu. Tidak ada tempat bagi ideologi dalam permainan politik seperti itu. Yang terpenting bagi penganut post-truth adalah bagaimana mampu mengemas citra postif di media dan media sosial. Citra yang acapkali berbanding terbalik dengan kerja politik di dunia nyata. Mereka pun tidak ambil pusing, jika kebijakan yang dibuat tidak memberi solusi bagi problem yang dihadapi rakyat. Mereka tidak akan peduli, jika kebijakannya justru menambah beban rakyat. Bagi mereka, yang penting menjadi trending topic, yang penting terpilih dan terpilih lagi, saat pemilihan legislatif atau eksekutif."
Megawati mengamati, praktik politik di Indonesia bermasalah. Akar masalahnya terletak pada ketiadaan landasan (ideologi) berpolitik dan kesesatan dalam tujuan politik (sekadar untuk kekuasaan). Dua hal ini berdampak pada maraknya praktik politik pencitraan.
Dan Sterling dan Liz Hannah mungkin tak pernah tahu pidato Megawati ketika keduanya menulis nahkah  Long Shot. Tetapi keduanya berbagi keresahan dan kritik dengan Megawati dalam film komedi politik-romantis ini.
Long Shot sama-sama film layar lebar kedua yang ditulis Dan Sterling dan Liz Hannah. Sebelum Long Shot, Dan Sterling menulis naskah The Interview, satire politis Amerika Serikat yang tayang 2014 silam.Â
Sementara Hannah adalah penulis sekaligus co-producer The Post, film sejarah politik (dan media) Amerika Serikat yang meraih Golden Globe Award untuk kategori Best Screenplay.
Sebagai penulis naskah film-film bertema politik, meski portofolio keduanya belum cukup panjang, ketajaman pengamatan keduanya terhadap kondisi perpolitikan, terutama di Amerika Serikat patut diacungi jempol. Demikian pula kemampuan keduanya mengemas kritik dalam komedi satire. Kemampuan itu kembali terbukti dalam Long Shot.
Adegan satire sudah muncul sejak menit-menit awal. Sekretaris Negara Amerika Serikat (yang juga bertanggungjawab atas urusan luar negeri), Charlotte Field memutuskan maju sebagai capres perempuan pertama dalam pilpres mendatang.Â
Ia telah mendengar langsung dari Presiden Chambers, bahwa si presiden yang populer karena serial komedi di tv tidak akan mencalonkan diri lagi.Â
Sang Presiden yang selama memerintah hanya sibuk berakting untuk serial tv (yang juga berperan sebagai presiden di sana) memutuskan untuk terjun menjadi bintang film layar lebar.
Sampai di sini saja aroma satire itu sudah kental. Presiden AS ternyata tidak lebih dari badut jago akting. Kelak dipertegas di bagian selanjutnya, kebijakan pemerintah dihasilkan oleh para kapitalis, termasuk kapitalis media. Presiden hanya perpanjangan tangan mereka.
Berbekal janji presiden untuk mendukungnya, Charlotte Field mengadakan pertemuan dengan konsultan politik dan staf khususnya. Ia ingin tahu seberapa besar elektabilitasnya.
Menohok! Yang dipresentasikan konsultan politik bagaimana publik menilai cara Charlotte melambai, rasa humornya, sifat romantisnya, dan hal-hal lain yang semata-mata citra dangkal. Charlotte bertanya, bagaimana publik menilai kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahannya? Â Konsultan politik menjawab, hal itu tak penting.
Maka Charllotte harus membagi perhatiannya antara memperjuangkan gagasan-gagasannya yang berlandaskan idelogi ekologisnya dengan urusan pencitraan yang dangkal seperti menambahkan unsur humor dalam pidato, berlantih gemulai saat melambaikan tangan, sembunyi-sembunyi makan sate dalam jamuan makan politik, dan tetek-bengek receh pencitraan lainnya.
Konflik muncul ketika Charllotte disarankan menyembunyikan identitas kekasihnya, seorang jurnalis idealis yang berhenti dari medianya gara-gara media itu dibeli kapitalis media yang mengendalikan Presiden Chambers. Bahkan Charllotte diminta memutuskan hubungannya.
Konflik lain adalah ketika program lingkungan hidup Charllotte merugikan rencana investasi Presiden Chambers dan si bos media. Charllotte harus memilih, mengorbankan ideology ekologisnya demi mendapat dukungan presiden atau jalan terus tetapi berhadapan dengan presiden yang sangat populer (karena jago acting) plus video kekasihnya bermasturbasi disebarluaskan.
Nah, urusan jalan mana yang Charllotte pilih, Om-Tante tonton sendiri saja.
Yang jelas, menonton film ini, Om-Tante akan heran-heran sendiri dan berulang kali menyeletuk, kok rada-rada de javu ya? Soal de javu masa yang mana, atau masa pemerintahan siapa, renungkan masing-masing saja deh. Mungkin saja semuanya begitu kan? Namanya juga elit, sudah lazim 11-12 di mana-mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H