Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

2 Jempol untuk Anies Baswedan atas Solusi Problem Listrik DKI Jakarta

8 Agustus 2019   10:06 Diperbarui: 8 Agustus 2019   20:01 2778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Anies Baswedan [Tabloidbintang.com]

Bangsa kita mungkin memang bangsa bermental ditampar dulu baru mau berpikir maju. Ada bencana baru tergesa-gesa cari solusi. Padahal ancaman persoalan sudah jauh-jauh hari terbaca. Demikian pula dalam soal energi, seperti kasus pemadaman listrik massal 4 provinsi pada hari Minggu lalu.

Tetapi baiklah. Sekalipun kesal karena kita jadi bangsa telmi, yang telat pun patut diapresiasi, dibandingkan tidak sama sekali. Karena itu jempol kanan patut kita acungkan kepada Gubernur Anies Baswedan.

Mengapa?

Karena gara-gara peristiwa listrik padam beberapa hari lalu, pada 7 Agustus kemarin, Pemprov Jakarta membangun komunikasi serius dengan PLN untuk meningkatkan instalasi dan penggunaan listrik tenaga surya.

"Tadi dibicarakan beberapa langkah-langkah strategis yang akan dilakukan. Termasuk memulai menggalangkan penggunaan panel-panel surya," kata Anies kepada wartawan seusai bertemu General Manager PLN Distribusi Jakarta Raya (Disjaya), Ikhsan Asaad ("Anies Bahas Kerja Sama Pemasangan Panel Surya Bersama PLN." Detik.com. 7/8/2019).

Rupanya Pemprov DKI Jakarta menggandeng PLN untuk program instalasi solar rooftop di gedung-gedung perkantoran milik Pemprov dan kelak rumah-rumah warga. 

Akan ada sejumlah pertemuan lanjutan dan pembentukan tim untuk menyusun roadmap agar jelas targetnya kapan seluruh gedung Pemprov DKI bisa terpasang solar rooftop.

Tetapi tambahan apresiasi lagi, Gubernur Anies Baswedan sebenarnya sudah mulai bergerak dengan soal energi primer terbarukan untuk pembangkit listrik skala mikro ini beberapa hari sebelum peristiwa listrik padam.

Pada Jumat, 2/8, Gubernur Anies sudah berjumpa Menteri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan untuk membicarakan program memassalkan instalasi panel surya di gedung perkantoran dan rumah-rumah penduduk DKI Jakarta ("Belajar dari Listrik Padam, Warga Jakarta Akan Diminta untuk Pasang Panel Surya" Kompas.com. 7/8/2019). 

Bahkan, pada Kamis, 1/8, Gubernur Anies menerbitkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 yang isinya menginstruksikan Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, untuk menginstalasi solar panel pada seluruh gedung sekolah, fasilitas olahraga/kepemudaan, fasilitas kesehatan, dan gedung milik pemerintah daerah yang dimulai pada 2019 dan diselesaikan pada 2022 ("Sesuai Instruksi Anies, Sejumlah Sekolah di Jakarta Sudah Dipasang Panel Surya." Kompas.com. 6/8/2019). Ayo, acungkan jempol kiri kita!

Gubernur Anies Baswedan [Tabloidbintang.com]
Gubernur Anies Baswedan [Tabloidbintang.com]

PLN Juga Sedang Berpikir Demikian
Gagasan Anies tidak bertepuk sebelah tangan. Di saat bersamaan, PLN juga sedang berpikir untuk terjun ke bisnis instalasi dan pemeliharaan listrik panel surya skala rumah tangga. 

Wakil Presiden Eksekutif Energi Baru dan Terbarukan PLN, Zulfikar Manggau mengatakan PLN sedang mengkaji lini bisnis pengembangan PLTS atap yang akan dimainkan PLN. Hasil kajian berupa mekanisme bisnisnya akan rampung dalam tahun ini. Kewenangan memutuskan berada di divisi niaga PLN.

PLN juga terus mengembangkan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sesuai yang tercantum dalam RUPTL PLN 2019 -2028 yang menargetkan pengembangan pembangkit surya sebesar 1 GW hingga 2028 ("Pertahankan Pendapatan, PLN Berencana Masuk Bisnis PLTS Atap" Bisnis.com. 30/7/2019).

Memang Telat Mikir, Sih
Sudah sejak 2009, UU nomor 30 tentang Ketenagalistrikan membolehkan peran badan usaha swasta, koperasi hingga perseorangan dalam usaha penyediaan tenaga listrik. 

Keputusan MK No 111/PUU-XIII/2015 menegaskan itu dibolehkan sepanjang tetap dalam kontrol negara. Artinya selama produksi listrik swasta atau individual itu dipasarkan bundling dengan layanan PLN (representasi kontrol negara), tidak melanggar konstitusi.

Lucunya peraturan operasional tentang penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga rumah tangga atap yang membolehkan konsumen rumah tangga menjual surplus listrik ke PLN baru terbit pada 2018 (Peraturan Menteri ESDM No 49 tahun 2018). Waktu mikirnya 9 tahun, booooo! Atau 3 tahun semenjak keputusan MK.

Perlu Subsidi, Bro Government
Sudah satu dekade lalu, sebelum UU 30/2009 terbit malah, saya terlibat diskusi problem energi (termasuk listrik) dengan sejumlah kawan di Kota Kupang. 

Saat itu sempat muncul wacana agar dalam blocking politik pemilihan wali kota Kupang, masyarakat sipil menawarkan program subsidi instalasi solar rooftop oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai syarat dukungan politik masyarakat sipil kepada kandidat wali kota. 

Modelnya adalah pemerintah berikan kredit tanpa bunga untuk biaya pengadaan dan pemasangan solar rooftop kepada rumah tangga. 

Dengan begitu rumah tangga tak perlu lagi membayar biaya listri kepada PLN, tetapi membayar cicilan kredit. Kelak ketika cicilan sudah lunas, rumah tangga tak perlu mengeluarkan uang lagi untuk menikmati listrik.

Tetapi setelah dihitung-hitung, karena saat itu harga solar panel dan baterai masih sangat mahal, jadinya beban biaya cicilan pengadaan dan instalasi sistem pembangkit tenaga surya itu masih beberapa kali lipat lebih mahal dibandingkan harga listrik PLN.

Nah, saat ini harga solar panel dan baterai sudah lumayan turun jauh, konon sudah 30 persen harganya melorot. Meski begitu, karena usia ekonomis solar panel dan baterai terbatas, harga listrik tenaga surya skala rumahan masih jatuh lebih tinggi juga dibandingkan harga listrik PLN.

Untuk pelanggan listrik PLN 900 VA misalnya. Rata-rata pemakaian listrik sebesar 124 kWh per bulan. Tarif listrik non-subsidi per Mei 2017 sebesar Rp 1.352. (Peraturan Menteri ESDM Nomor 28/2016). Maka per bulan rata-rata rumah tangga pelanggan listrik 900 VA sebenarnya membelanjakan Rp 173.056 (dalam hitungan nonsubsidi, saat ini masih subsidi).

Jika menggunakan tenaga matahari, penggunaan listrik 124 kWh per bulan butuh solar panel berkapasitas Rp 600 WP. Saya lihat di marketplace daring, yang 300 WP sekarang harganya sekitar Rp 2,6 juta. Jadi asumsikan yang 600 WP Rp 5 juta. Garansi resmi usia ekonomis solar panel 10 tahun. 

Katakanlah konsumen bisa merawat dengan baik sehingga usianya mencapai 20 tahun. Maka beban biaya solar panel per bulan sekitar Rp 20.800.

Yang paling bikin mahal adalah baterainya. Untuk konsumsi listrik 600 WP, kita perkirakan biaya baterai sekitar Rp 5 juta. Jika dirawat baik, kita asumsikan baterai bertahan 2 tahun, maka biaya baterai per bulan Rp 208 ribu. Total biaya (depresiasi) solar panel dan baterai---alat lain dikosongkan saja---sekitar Rp 230.000 per bulan. Masih lebih mahal Rp 60an ribu lebih dibandingkan harga listrik PLN (non-subsidi).

Memang, beban biaya ini bisa berkurang dengan tambahan penghasilan dari penjualan surplus listrik ke grid PLN. Tetapi kan kita hitungnya sudah mempas-paskan rata-rata konsumsi dengan kapasitas terpasang. Jika pun ada surplus, toh tak seberapa besar.

Nah mengingat biaya produksi listrik tenaga matahari skala rumah tangga masih lebih mahal dibandingkan harga listrik PLN, pemerintah perlu memberikan tambahan subsidi kepada rumah tangga yang bersedia memasang solar rooftop.

Jalan lain adalah dengan memangkas habis tarif impor baterai dan solar panel atau lebih keren lagi---lebih Pancasilais dan berwawasan Trisakti Bung Karno--mendorong industri baterari dan solar panel dalam negeri. Dengan begitu, harga solar panel dan baterai bisa ditekan.

Tentu saja yang tak boleh ketinggalan adalah program kredit jangka panjang (10-20 tahun) tanpa bunga untuk instalasi solar panel.

Yang jelas, rakyat konsumen itu sudah susah dikotbahi tentang common value seperti kepentingan menciptakan lingkungan yang sehat---mencegah polusi oleh pembangkit listrik tradisional dan pengrusakan lingkungan oleh penambangan batu bara--. Rakyat perlu didekati dengan pendekatan rational choice yang individual sifatnya. Gue bisa save berapa di dompet dari beralih ke solar panel.

Nah, karena itu, bukan cuma Gubernur Anies Baswedan dan Menteri Ignasius Jonan yang perlu pikirkan soal ini. Menteri Sri Mulyani dan Menteri Rini Soemarno perlu pula ikut berpikir bahwa soal eksternalitas dari kerusakan lingkungan hidup juga penting dimasukkan dalam pertimbangan biaya dan pendapatan negara dan masyarakat.

_____

Selamatkan Rakyat Pulau Komodo dari Penggusuran. Teken dan Sebarkan Petisi "Batalkan Rencana Pemindahan Rakyat dari Pulau Komodo"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun