Ada sejumlah hal yang menyebabkan kita tidak bisa menilai surplus Juni sebagai prestasi. Perhatikan angka-angka dalam tabel olahan data dari website BPS berikut.
Angka-angka itu bercerita sejumlah kenyataan merisaukan.
Pertama, dibandingkan Juni 2018, nilai ekspor kita masih lebih rendah 1,16 miliar dolar AS.
Kedua, dibandingkan Mei 2019, nilai ekspor kita turun 3,04 miliar dolar AS.
Tiga, secara kumulatif, semester pertama 2019, neraca dagang masih defisit 2,13 miliar dolar AS.
Empat, dibandingkan semester pertama 2018, nilai ekspor 2019 turun 19,31 miliar dolar AS.
Angka dalam tabel juga menyiratkan kelemahan perdagangan internasional kita, yang salah satunya terletak pada produk ekspor Indonesia didominasi raw material, barang mentah sebagai bahan baku industri di negara lain. Karakter raw material biasanya bulky: volumenya besar dan berat, nilainya cetek. Itu sebabnya meski volume ekspor sekitar 4 kali lipat volume impor, nilainya justru lebih rendah.
Nilai ekspor bisa ditingkatkan bukan cuma dengan memperbanyak barang yang diekspor, melainkan melakukan pengolahan (manufacturing) di dalam negeri.
Adalah ironi jika kita menjual barang mentah ke negeri industri maju, lantas mengimpor kembali sebagai aneka barang jadi. Itu berarti kita membayar nilai tambah yang dihasilkan industrialis dan buruh negeri-negeri maju.
Lantas apa solusinya?