Apa gunanya setiap satu Mei massa buruh bergerak ke istana negara jika hingga kini mereka belum juga sadar hubungan erat antara kondisi hidup mereka dengan kekuasaan?
Apakah sungguh bebal kepala buruh?
Saya kira tidak. Lebih masuk akal untuk menuding para pimpinan serikat buruh sebagai biangnya.
Pimpinan serikat buruh yang hanya menjadikan buruh batu loncatan menuju kursi menteri tentu akan menolak gagasan persatuan politik buruh yang independen dari kekuatan-kekuatan politik borjuasi. Pimpinan serikat buruh yang demikian lebih suka menjadikan serikatnya dan massa buruh yang dipimpinnya cukup jadi pendukung salah satu faksi borjuasi yang berkompetisi.
Pimpinan serikat buruh yang demikian lebih suka konfederasinya eksklusif menyelenggarakan aksi 1 mei sendiri. Ia, di atas panggung berpeluk-pelukan dan ber-hahahi dengan capres sambil membayangkan dirinya kelak dalam balutan jas menteri. Pemimpin serikat buruh yang demikian akan rela berkorban, mengubah tradisi aksi massa 1 Mei menjadi panggung joget dangdut, acara donor darah, pasar murah, dan lomba balap karung.
Pemimpin serikat buruh seperti inilah yang menghambat persatuan buruh, yang mengisolasi anggotanya dalam sektarianisme sektoral. Cek saja. Serikat-serikat buruh seperti inilah yang dalam sejarah paling getol mengangkat tuntutan upah sektoral. Cek juga, serikat-serikat buruh seperti ini yang para pengurusnya paling banyak bergabung dalam parpol pengusung sentimen identitas. Oportunis!
Jadi Ahmad, jika dirimu buruh dan presiden konfederasimu berciri seperti paragraf di atas, ajak kawan-kawanmu keluar dari serikat itu. Bergabunglah dengan serikat-serikat yang sungguh menjadi alat perjuangan buruh. Bangun kesadaran di kepala kawan-kawan sepabrikmu, tanpa persatuan politik buruh, tanpa partai politik sendiri, kalian selamanya hanya jadi alat tawar bos-bos serikat yang bermimpi jadi menteri.
Untuk menjadikan kekuasaan negara adil kepada kepentingan buruh, tidak cukup dengan menempatkan satu dua orang perwakilan buruh dalam pemerintahan. Dahulu Menaker Yakob Nuwa Wea itu buruh. Tak banyak perubahan regulasi perburuhan. Hanief Dhakiri itu aktivis buruh era Orde Baru, tak banyak pula yang bisa ia hasilkan. Bahkan ketika staf ahlinya seorang Dita Indah Sari, dedengkot aktivis buruh.
Hidup buruh hanya bisa berubah jika kalian punya parpol sendiri, yang menguasai puluhan kursi di parlemen. Saat itulah kalian bisa mendesakkan banyak kebijakan negeri ini lebih adil terhadap buruh.
Apa kalian tak malu, Mad, dengan Grace dan Tsamara, emak-emak semerbak yang kalian anggap boneka borjuasi itu? Mereka bisa bikin parpol sendiri yang mendapat dukungan 3 juta rakyat pemilih. Apa kalian tak malu, parpol yang kalian tuding borjuasi itu justru yang menuntut adanya layanan penitipan anak di kantor-kantor, di pabrik-pabrik? Bukankah seharusnya kalian yang meneriakkan itu? Bukankah itu yang diserukan dalam Rabotnitsa dan Pravda sejak 1900an awal?
Jadi kapan partai buruhnya jadi, Ahmad?