Dua mantan jenderal dedengkot Orde Baru terlibat duel pernyataan. Jenderal (purn.) Wiranto, mantan Panglima ABRI di akhir era Soeharto dan kini Menkopolhukam menantang bekas anak buahnya--yang kini anak buah Prabowo--Kivlan Zen untuk bersumpah pocong. Pasalnya Kivlan menuduh Wiranto sebagai dalang  kerusuhan Mei 1998.
Kivlan menolak tantangan itu dan sebaliknya mengajak Wiranto debat di televisi. Kivlan meyampaikan tudingan bahwa Wiranto lah dan sejumlah jenderal di belakangnya yang mendalangi kerusuhan 1998 demi menggulingkan Soeharto.
_____________
Footsteps forced back on the sorrow road
TChains dragging the dust a heavy load
Bloody marks on tomorrow's road
Walking, walking, keep walking along ...
...
Footsteps joining from everywhere,Â
Heading for Justice and getting there!
--Eve Meriam, "Tomorrow's Footsteps"
_____________
Kerusuhan Mei 1998 terjadi di Jakarta pada 13-15 Mei. Toko dan rumah-rumah orang Tionghoa dijarah dan dibakar. Lebih buruk lagi, para perempuan etnis Tionghoa diperkosa massal, sebagian tewas akibat perkosaan biadab itu. Sekitar 150 orang perempuan menjadi korban perkosaan selama 3 hari kelabu itu. Demikian yang berhasil dicatat Tim Relawan Kasus Mei 1998.
Ita F Nadia, Â anggota Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan bercerita tentang korban remaja usia 11 tahun yang menghembuskan napas terakhir di pangkuannya. Remaja putri keturunan Tionghoa itu tewas setelah diperkosa, tubuhnya dalam kondisi mengenaskan. Ibu dan kakaknya juga diperkosa dan terlebih dahulu tewas.Â
Ita menjumpai puluhan korban perkosaan ketika lembaganya, Kalyanamitra mendapat banyak laporan via telepon. Sebagian besar korban adalah kalangan miskin etnis Tionghoa. Tak cuma diperkosa, organ kelamin mereka dilukai. Sungguh biadab!
Sandyawan Sumardi, aktivis kemanusian memberi kesaksian tentang korban selamat yang mengalami luka pada perut dan vagina karena ditusuk besi penyangga gorden.
Presiden BJ Habibie mendengarkan sendiri kesaksian salah seorang kerabatnya yang berprofesi sebagai dokter. Â Itu sebabnya Habibie tidak sungkan menyatakan permintaan maaf kepada korban dan seluruh rakyat Indonesia, meski penasihat militer presiden saat itu, Letjen Sintong Pandjaitan menahannya dan menyarankan agar terlebih dahulu membahas hal tersebut dalam sidang kabinet.