Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bushido! Mungkinkah Jadi Budaya Politik? Berkaca dari Edy Rahmayadi

20 Januari 2019   15:46 Diperbarui: 20 Januari 2019   18:07 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bushido Edy Rahmayadi [Ilustrasi diolah dari downtowngreensboro.org dan Amazon.com]

Di sejumlah negara, lebih-lebih di Jepang, pejabat mengundurkan diri karena merasa gagal sudah lazim. Orang Jepang sangat tahu diri dan karena itu kenal malu.

Bukan karena sudah genetik, mengalir dalam diri mereka sikap ksatria yang demikian itu.

Konon, etika mundur jika gagal baru menjadi arus utama di Jepang sejak masa kediktoran Tokugawa, awal 1600an hingga pertengahan 1800an. Etika itu dimulai dari kalangan samurai dan shogun.

Bushido namanya, satu unsur dari seperangkat kode etik pada ksatria. Samurai atau shogun yang gagal mengemban tugas akan melakukan seppuku, ritual harakiri untuk menebus kesalahannya. Menghujamkan katana dengan khidmat, dalam-dalam ke perut sendiri. Dengan cara itu mereka tetap mempertahankan kehormatan diri.

Ketika masa restorasi Meiji mengakhiri kekuasaan panjang keshogunan Tokugawa, etika boshido sebagai peninggalan terbaik masa Edo Bakufu itu dipertahankan, menjadi nilai-nilai dasar masyarakat Jepang, siapapun tak harus samurai.

Tentu saja harakiri masa kini tidak lagi dalam bentuk menikamkan pedang ke perut sendiri. Prinsip bushido, sikap ksatria itu diterapkan dalam bentuk kesediaan mundur dari jabatan oleh kesadaran sendiri sebab sudah gagal menjalankan tugas.

Demikianlah bagi orang Jepang, mengakui kesalahan dan mundur bukanlah aib. Sebaliknya ia bentuk penghormatan atas diri sendiri, upaya mempertahankan harga diri. Hanya orang-orang tak punya harga diri yang tak mengakui kegagalan dan tak tahu malu menggenggam erat-erat jabatannya.

Karena bushido bukan genetik, melainkan nilai yang ditemukan, yang diintrodusir dan kemudian melembaga, melarut sebagai warisan turun-temurun bangsa Jepang, maka mungkin pula dan tentu saja baik adanya jika bangsa kita menirunya.

Edy Rahmayadi, dan Idrus Marham sebelumnya, sudah menunjukkan jalan. Sangat cantik jika pejabat-pejabat dalam banyak ranah organisasi menirunya. Bahkan sungguh terima kasih jika pemerintahan ke depan, Jokowi di era kedua, atau mungkin Prabowo, melembagakan etika ini.

Kepada menteri-menteri dibuatkan kontrak kinerja. Isinya 3 masalah atau target prioritas yang harus dituntaskan dalam setahun pertama. Jika gagal, si menteri sukarela mengakui ketidakmampuannya dan mengundurkan diri.

Demikian pula kontrak serupa dibuat antara gubernur  atau bupati dengan para kepala SKPD pun eselon di bawah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun