Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Saya Sudah Sepelekan PSI, Ternyata Program Perjuangan Keperempuanan Mereka Top Juga

14 Desember 2018   02:21 Diperbarui: 14 Desember 2018   09:18 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para perempuan PSI [Detik.com]

Meski sejak mula respek pada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebenarnya saya menyimpan prasangka menyepelekan mereka, underestimate. Saya sangka mereka hanya sekumpulan generasi muda harum melek politik yang setinggi-tingginya kesadaran mentok pada isu anti-korupsi dan toleransi. Tidak saya sangka, para politisi enak dipandang mata ini menyimpan sejumlah gagasan maju, terutama dalam problem keperempuanan.

Berpidato di acara Festival 11 di Surabaya, Selasa (11/12/2018) malam, Ketum PSI Grace Natalie menjabarkan sejumlah program perjuangan parpolnya di bidang keperempuanan. Selain soal revisi Undang-Undang Perkawinan agar mempersempit peluang poligami; Grace bicara pula tentang kebutuhan khas perempuan kelas pekerja, yaitu alokasi anggaran negara untuk pendirian tempat-tempat penitipan anak; serta fleksibilitas jam kerja, dan relasi kerja yang memungkinkan perempuan bekerja dari rumah dengan memanfaatkan teknologi.

Orang mungkin berpikir ini adalah program perjuangan yang sederhana saja dan disusun sekadar sebagai kata-kata indah. Tidak! Apa yang disampaikan Grace sesungguhnya merupakan tuntutan perjuangan tertua dalam sejarah gerakan perempuan.

Pada 1919 di Rusia, sebelum Hari Perempuan Internasional menjadi tradisi, para tokoh pergerakan perempuan inisiator Hari Perempuan Internasional sudah berhasil mendesak program perjuangan serupa yang Grace angkat agar menjadi program partai kelas pekerja, terutama kaum Bolsyevik.

Program-program ini disebut sosialisasi kerja domestik, dimaksudkan sebagai langkah radikal membebaskan kaum perempuan dari belenggu beban pekerjaan rumah tangga yang secara tak adil mengungkung mereka dalam tanggungjawab sepihak.

Kapitalisme berkembang seiring kehidupan yang kian berat, terutama bagi keluarga kelas pekerja. Kebutuhan hidup tak bisa lagi dipenuhi hanya dengan suami bekerja. Perempuan mau tak mau turut mencari nafkah.

Sialnya, penyerapan perempuan ke dalam pasar tenaga kerja tidak disertai dengan perombakan nilai-nilai lama yang menempatkan perempuan sebagai penanggungjawab utama urusan-urusan domestik seperti mencuci, mengurus anak, membersihkan rumah, dan memasak. Jadinya perempuan memikul beban ganda: turut mencari nafkah dengan tingkat pekerjaan yang sama berat namun berupah rendah, plus harus pula menguras tenaga di rumah.

Partai kelas pekerja sejati memposisikan kerja sebagai sarana pembebasan diri. Perempuan bekerja tak boleh dipandang sebagai langkah terpaksa menyelamatkan kondisi ekonomi keluarga, melainkan sebagai hak setara perempuan dan laki-laki untuk aktualisasi diri. Kerja berfungsi mengoptimalkan potensi diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Seperti lekaki, perempuan pun mahkluk ciptakan Tuhan, setara, hanya terbedakan bentuk dan fungsi organ-organ kelaminnya.

Karena itu harus dipikirkan cara agar tanggungjawab domestik berpindah dari pundak subjektif perempuan dalam keluarga menjadi tanggungjawab kolektif masyarakat. Untuk itulah PBSDR-Bolsyevik memperjuangkan pendirian pusat binatu, balai penitipan anak, hingga dapur umum yang dikelola secara kolektif oleh anggota partai.

Pada 1923 Trotsky menambahkan pendasaran teoretik dan ideologis atas program ini melalui artikelnya "From the Old Family to the New"  di Pravda edisi 13 Juli 1923. Ia menutup artikel itu dengan indah, mengutip Engels, bahwa dengan program sosialisasi atau kolektivitasi kerja domestik ini, keluarga umat manusia akan "jump from the realm of necessity to the realm of freedom."

Selama ini banyak organisasi perempuan yang genit dan latah menuntut kesataraan formal seperti akses perempuan dalam politik namun abai terhadap pemenuhan prasyaratnya. Tanpa pembebasan dari beban kerja domestik, hanya perempuan kelas menengah atas, para kuntilanak wangi--meminjam umpatan Saskia Wieringa--yang bisa aktif berpolitik sebab mereka dapat menggaji asisten rumah tangga.

Sementara perempuan kelas pekerja yang oleh panggilan nurani dan komitmen kuat tetap berpolitik juga, sering terpaksa harus mengorbankan keluarga mereka.

Seorang perempuan pejuang lingkungan peraih penghargaan internasional pernah curhat, putri sulungnya menjadi agak kurang cerdas sebab keluarga yang sering ia titipi putrinya mengambil jalan pintas memberi CTM--obat alergi yang berefek kantuk--agar si putri mudah lelap dan mereka tak perlu banyak repot.

Istri saya sering marah-marah kepada aktivis perempuan yang mengajaknya berdiskusi soal peran politik perempuan namun enggan menuruti sarannya untuk mengorganisasikan tempat penitipan anak yang dikelola secara kolektif oleh komunitas perempuan kelas pekerja.

"Dasar perempuan kelas menengah genit, kepala batu, dan tak paham akar persoalan," katanya. Saya selalu mengamini jika ia berkata begitu sembari merasa bersalah sebagai kaum lelaki.

PSI tampaknya bukan tipe dogmatis yang ngotot dengan target tinggi. Saya duga alokasi anggaran bagi tempat penitipan anak adalah program atau tuntutan maksimum mereka. Untuk mengantisipasi kesulitan itu terpenuhi, mereka telah mempersiapkan pula program minimumnya--saya menduga demikian--, yaitu regulasi tentang fleksibilitas jam kerja dan relasi kerja yang memungkinkan perempuan bekerja dari rumah dengan memanfaatkan teknologi.

Jika program penitipan anak yang dibiayai negara merupakan program khas sosialis, program minimum fleksibilitas waktu dan tempat kerja yang memungkinkan perempuan bekerja dari rumah adalah khas kapitalisme.

Hal ini sebenarnya merupakan kecenderungan umum perkembangan pasar tenaga kerja dalam kapitalisme, ketika demi efisiensi, model-model hubungan kerja tradisional ditinggalkan, beralih  ke sistem crowdsourcing yang membebaskan kapitalis dari beban untuk mengupah secara tetap dan reguler buruhnya sementara permintaan dari konsumen tak selalu ada.  

PSI tampaknya tidak coba bersikap romantik dengan menuntut dipertahankannya relasi kerja tradisional (buruh pabrik zaman dahulu) melainkan mengikuti perkembangan pasar tenaga kerja. Mungkin saja--saya tak memiliki dokumen lengkap program perjuangan PSI-- itu disertai pula tuntutan regulasi negara untuk melindungi model baru relasi kerja ini.

Dengan program minimum ini, kesadaran patriarkis bahwa perempuan bertanggungjawab atas urusan domestik tidak coba dilawan. Hmmm, boleh disebut kompromis, boleh pula realistis.

Hebatnya, saya memandang program-program ini bukanlah janji populis sebab tidak banyak gunanya untuk menarik simpati pemilih. Ini sungguh-sunggu program yang dibuat sebagai solusi problem kaum perempuan.

Saya berani menjamin ini bukan program populis sebab memiliki cukup banyak pengalaman dengan hal ini.

Ketika baru menempati rumah KPR, dalam sebuah rapat warga yang saya inisiatifkan untuk memperjuangkan hak konsumen atas fasilitas umum, saya mengusulkan kepada para tetangga agar selain tempat pembuangan sampah dan manajemennya, dituntut pula agar pengembang menyediakan fasilitas bangunan balai penitipan anak. Urusan operasionalnya dapat ditangani secara kolektif oleh warga, baik melalui iuran untuk menggaji pekerja profesional, atau melalu penggiliran piket di antara warga.

Tak ada yang tertarik. Mereka menganggap tuntutan itu terlalu tinggi dan belum mendesak. Padahal penghuni kompleks perumahan bersubsidi itu adalah suami-istri kelas pekerja dengan anak yang belum cukup umur untuk masuk sekolah.

Ya, begitulah.

Akhirnya saya merasa perlu berterima kasih kepada PSI sebab telah memberi contoh bagaimana sebaiknya parpol menyusun program-program perjuangannya dengan benar, bukan sekedar kata-kata hampa dan klise seperti "meningkatkan pertumbuhan ekonomi", "meningkatkan kesejahteraan rakyat," "menciptakan lapangan kerja," dan rumusan abstrak lainnya.

Sudah cukup pantaslah jika mewar merah menjadi lambang PSI sebagaimana sejumlah organisasi progresif di Eropa sedekade pasca revolusi mahasiswa 1968. Salut, Grace!

Sumber:

Tribunnews.com (12/12/2018) "Grace Natalie: PSI Akan Perjuangkan Larangan Berpoligami bagi Pejabat Publik"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun