Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Membaca Pertanda Alam Dipandang Berhala

16 Desember 2018   20:21 Diperbarui: 16 Desember 2018   21:11 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, menjamu anak wina dalam adat kelas budaya Manggarai [dokpri]

Beberapa tahun lalu, saya terlibat pekerjaan kecil melakukan pemetaan sistem sumber daya bentang laut (seascape) di Pulau Semau, sebuah pulau kecil di sebelah barat Kota Kupang yang berpenghuni mayoritas etnis Helong. Ratusan tahun silam, orang-orang ini menyeberang dari Nusa Ina, Pulau Seram, menyusuri Pulau Timor dari Timur dan berakhir di Kota Kupang di ujung Barat, dan sebagian menyeberang untuk menetap di Pulau Semau.

Saya dan rekan mengamati bagaimana masyarakat memanfaatkan unit-unit sumber daya dari kenyataan alam dan ruang yang ditinggalinya. Kami mempelajari apa yang masyarakat manfaatkan dari hutan, pantai, perkampungan, sungai. Bagaimana sistem kepemilikan, penguasaan, akses pemanfaatan, dan tanggungjawab pemeliharannya. Termasuk pula bagaimana kenyataan alam, gejala dan peristiwa menjadi referensi masyarakat dalam memutuskan dan melaksanakan aktivitas-aktivitas penting dalam hidupnya, seperti menentukan saatnya mulai menanam.

Hasil dari studi sederhana ini diperlukan untuk mengajak masyarakat membangun kembali sistem kelembagaan yang responsif dan adaptatif terhadap perubahan iklim, sebuah tantangan besar bagi masyaarkat penghuni pulau-pulau kecil.

Hal tersebut didasarkan kepada hipotesis bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki pengetahuan warisan turun-temurun membaca tanda-tanda alam, membuat mereka mampu beradaptasi menghadapi iklim yang keras dan berubah di masa lampau. Pengetahuan itu kemudian terlembaga dalam kepercayaan, sistem nilai, dan praktik turun-temurun, secara umum disebut sebagai kebudayaan. Kemajuan zaman dan faktor tertentu menyebabkan mereka meninggalkannya.

Misalnya ada komunitas masyarakat di Pulau Timor yang melihat tanda kehadiran burung jenis tertentu sebagai pertanda musim hujan sudah benar-benar tiba dan itulah saat yang tepat untuk mulai menanam. Ada pula yang melihat dari posisi jatuhnya bayangan pada bukit batu di dekat kampung mereka, yang menunjukkan posisi matahari. Sebagian lainnya menjadikan kemunculan tunas dan pucuk-pucuk muda pohon tertentu sebagai pertanda.

Sayangnya, pengetahuan tradisional seperti ini kerab disalahpahami sebagai keyakinan berhala yang bertentangan dengan agama. Pada komunitas tertentu, masyarakat kemudian memilih meninggalkannya. Musim tanam pun disandarkan kepada perhitungan matematis kalender musim yang seringkali diseragamkan begitu saja dan diasumsikan ajek. Kondisi iklim yang kian sering berubah dalam ritme yang kacau menempatkan masyarkat dalam kerentanan gagal tanam pun gagal panen.

Di Pulau Semau, suatu malam di sebuah desa, saya dan rekan menjumpai kepala desa yang kebetulan juga pemuka agama. Hadir pula ayah kepala desa, pemuka agama senior di sana.

Saya bertanya, adakah pengetahuan melihat tanda-tanda alam yang masih dipraktikkan untuk menentukan tibanya musim tanam?

Kepala desa dan ayahnya senada menyatakan syukur mereka bahwa di kampung itu praktik songgo-songgo 'berhala' seperti itu tidak lagi ada. Mereka mendasarkan segalanya hanya pada kitab suci.

"Tetapi bukankah pengetahuan lokal tentang tanda-tanda alam sebenarnya juga merupakan karunia Tuhan?" Saya mencoba bijak dan sabar menggali.

Sekali lagi keduanya menjawab mereka hanya mengacu kepada apa yang terdapat dalam kitab suci.

"Apakah ada teks dalam kitab suci yang menjelaskan pertanda alam untuk mulai menanam dengan tepat?" Saya masih belum mau kalah.

"Ketika mendekati musim hujan, antara November dan Desember kami menyelenggarakan ibadat padang untuk membuka musim tanam. Saat itu kami berdoa mengharapkan berkat agar kelak panen berlimpah." Ayah si kades bertahan kepada keyakinannya bahwa apapun bisa terjadi asalkan manusia sungguh berharap campur tangan Tuhan.

Dalam hati saya mengomel, betapa kesalnya Tuhan ketika Ia telah membisiki pengatahuan kepada nenek-moyang orang-orang ini tentang bagaimana membaca pertanda alam namun mereka mencampakkannya lalu tak henti-hentinya berseru mohon keberhasilan dalam segala usaha.

Dua hari kemudian di desa seberang, kami menyelenggarakan kelompok diskusi terfokus. Berdasarkan pemetaan klan di desa tersebut menjadi tahulah saya salah satu klan terbesar adalah sebuah marga yang menurut prasangka saya--berdasarkan pengetahuan dari komunitas Helong daratan di Kota Kupang--adalah marga yang memiliki pengetahuan dan keahlian meramu obat-obatan dari kekayaan hayati di hutan.

Bagi saya, pengakuan dan pelestarian pengetahuan dan keterampilan meramu tetumbuhan dan tanaman khasiat obat sungguh penting. Saya teringat sebuah program yang dilaksanakan seorang kawan bersama suatu komunitas di Palu, Sulawesi Tengah. Untuk mengatasi kelangkaan layanan kesehatan, dihidupkan kembali praktik meramu tanaman berkhasiat obat, diorganisasikan secara lebih moderen.

Ketika diminta menyebutkan unit-unit sumber daya yang dimanfaatkan dari hutan, obat-obatan trandisional tak muncul dalam jawaban kelompok diskusi terfokus.

Saya lantas teringat kisah masa lampau tentang perburuan dan pembunuhan para perempuan cerdik pandai dari masa kekelaman gereja, ketika para perempuan pandai di anggap tukang sihir. Dugaan saya, demikian pula orang-orang ini menyembunyikan dan memusnahkan sendiri pengetahuan turun-temurun mereka karena takut dianggap berhala.

Maka berceritalah saya tentang marga tertentu di Helong daratan--sebutan orang Helong Pulau Semau terhadap saudara mereka di Kota Kupang--yang memiliki pengetahuan istimewa mengenali khasiat tetumbuhan bagi pengobatan beragam penyakit.

Akhirnya seorang peserta bermarga serupa angkat tangan dan bercerita bahwa  memang di desa tersebut jika seorang yang mengalami patah tulang diurut oleh orang dari marganya, si penderita akan lebih cepat sembuh.

Yah, demikianlah. Salah kaprah yang memandang pengetahuan lokal warisan turun-temurun sebagai bertentangan dengan ajaran agama telah berkontribusi terhadap hilangnya begitu banyak pengetahuan dan praktik bijak memanfaatkan alam.

Di Pulau lain di NTT, tradisi menyembelih hewan kurban sebagai awal musim tanam telah ditinggalkan sejumlah komunitas. Bersamaan dengan itu, sebagai konsekuensi, berakhir pula tradisi gotong royong mempersiapkan lahan. Orang bertindak sendiri-sendiri mengurus kebunnya. 

Demi mendapat bantuan, orang harus membayar buruh tani. Keluarga yang kesulitan uang tunai untuk membayar buruh tani terpaksa meninggalkan kampung halaman, meninggalkan kebun merana tak terurus, merantau menjadi buruh tani di pedalaman rimba sawit di Kalimantan pun Malaysia yang jauh.

Begitu banyak kerugian yang kita alami ketika kebudayaan dipandang secara salah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun