Depresiasi rupiah atau naiknya nilai tukar dollar terhadap rupiah mengundang kecemasan banyak orang. Jangan-jangan krisis 1998 akan terulang kembali.
Kondisi ini juga menguntungkan para politisi anti-Joko Widodo yang memanfaatkannya untuk mengkritik pemerintah. Ada yang melakukan kritik dengan tulus agar pemerintah mengambil kebijakan emergensi dan strategis untuk menguatkan nilai tukar rupiah; ada pula yang sengaja mengipas-ngipasi kepanikan agar Presiden Jokowi yang jadi capres petahana pada pemilihan presiden (pilpres) 2019 berkurang popularitas dan elektabilitasnya.
Terlepas dari apapun motifnya, politis atau tulus, rakyat perlu tahu kondisi yang sebenarnya. Untuk itulah DPR RI menggelar seminar bertajuk "Ke Mana Arah Rupiah" pada Rabu, 19 September.
Hadir sebagai salah seorang narasumber adalah Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi.
Dodi mengakui bahwa depresiasi rupiah menyebabkan nilai tukar dolar terhadap rupiah hampir menyamai kondisi 1998. Namun menurutnya tingkat kegentingan saat ini sangat jauh berbeda dibandingkan ketika krisis ekonomi melanda Indonesia 20 tahun lampau, pun 10 tahun lalu.
Ada tiga indikator yang perlu diperhatikan untuk memahami keadaan saat ini sehingga rakyat tidak perlu cemas dan panik.
Yang pertama adalah inflasi atau tingkat kenaikan harga-harga umum.
Secara alamiah, karena banyak barang konsumsi masyarakat, baik barang jadi, pun komponen bahan bakunya masih diimpor, depresiasi rupiah berdampak pada kenaikan harga-harga atau inflasi.
Namun inflasi saat ini jauh lebih rendah dibandingkan 1998 dan 2008, bahkan lebih rendah dari kondisi normal di masa pemerintahan SBY.
Ketika krisis 1998, inflasi mencapai 82 persen. Pada krisis 2008, inflasi sebesar 12 persen. Saat ini, tingkat inflasi hanya 3,2 persen. Pada kondisi normal di masa pemerintahan SBY, tingkat inflasi di atas 4 persen.
Jadi belum ada alasan untuk panik oleh kenaikan harga-harga.
Indikator kedua adalah persentasi depresiasi rupiah
Pada krisis ekonomi 1998, nilai tukar dollar terhadap rupiah naik hingga 197 persen, hampir 2 kali lipat. Pada krisis 2008, nilai tukar dollar naik 35 persen. Saat ini, penguatan dollar hanya sebesar 8,9 persen.
Berdasarkan penjelasan Doddy, pihak-pihak yang menggunakan diksi "meroket" untuk menjelaskan nilai dollar dan harga-harga barang patut dicurigai bertujuan semata-mata untuk bikin rakyat panik dan berharap rakyat tidak memilih Jokowi pada pilpres 2019.
Indikator ketiga adalah cadangan devisa.
Cadangan devisa adalah indikator penting untuk menilai kemampuan ekonomi kita dalam menjaga nilai tukar rupiah agar tidak mengalami depresiasi terlalu tinggi.
Pada krisis 1998, cadangan devisa Indonesia hanya 17 miliar dollar. Pada 2008, cadangan devisa sudah sebesar 50 miliar dollar. Pada 2017, cadangan devisa Indonesia sebesar 132 miliar dollar. Meski sebagian telah dipakai untuk menjaga nilai tukar rupiah, cadangan devisa 2018 masih sebesar 118 miliar dolllar.
Jadi jika bicara krisis, dunia (bukan Indonesia saja) memang belum kunjung bebas sejak krisis 2008 silam. Apa yang kita alami kini adalah dampak dari upaya Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump untuk membebaskan dirinya dari krisis tanpa mempedulikan kondisi ekonomi global. Trump hanya mau cari selamat sendiri.
Namun tidak seperti krisis ekonomi dunia 1998, dan lebih baik dari kondisi 2008, Indonesia masih dalam kondisi relatif baik. Artinya, kita patut berharap pemerintah memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia, terutama mewujudkan kemandirian ekonomi, namun tidak perlu cemas berlebihan seolah-olah kita sedang mengulangi masa 1998.
Semua data ini menujukkan bahwa di bawah nahkoda Joko Widodo, kapal besar Indonesia cukup andal berayar di tengah kecamuk samudra perekonomian dunia. Diperkirakan, kondisi ekonomi dunia masih akan berangin kencang hingga 2020. Hingga tahun itu, The Fed Amerika Serikat masih akan menaikkan tingkat suku bunga bertahap. Dampaknya hot money cenderung lari ke sana.
Kita harapkan Jokowi dapat terus menahkodai kapal besar Indonesia dengan selamat melalui masa badai ini. Setelah melewati masa gejolak 2018-2020, semoga Indonesia sudah bisa mulai memetik hasil dari peletakan fondasi kemajuan melalui masifnya pembangunan infrastruktur produktif.
Sumber:
Detik.com (19/09/2018) "Rupiah Keok, Krisis 1998 Bisa Terulang? Ini Kata BI."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H