HTI adalah partai politik internasional yang tidak sepakat kepada sistem demokrasi. Ini bukan tuduhan tanpa dasar. Dalam berbagi unjukrasa, HTI menyatakan sikap itu secara terang-terangan.
Demokrasi adalah salah satu prinsip dalam Pancasila, sila ke-4. Penolakan terhadap demokrasi berarti penolakan terhadap Pancasila. Itulah yang membuat HTI dibubarkan.
Maka dukungan kepada Prabowo-Sandiaga untuk meraih kekuasaan adalah sekedar jalan taktis yang sementara sifatnya.
Di tengah jalan, taktik ini akan dicampakkan, berganti perebutan kekuasaan melalui kudeta. Kondisinya bergantung imbangan kekuatan.
HTI berharap dengan berkuasanya Prabowo-Sandiaga mereka akan mendapatkan konsesi demokrasi berupa pembiaran hidup organisasi mereka, bertumbuh dan merekrut kian banyak anggota, menyusup dalam lembaga-lembaga strategis seperti militer, kepolisian, pengadilan, BUMN.
Kelak ketika imbangan kekuatan, komposisi rakyat yang mendukung gagasan-gagasan HTI dan yang menolak sudah cukup seimbang, gerakan kudeta pun dilancarkan.
Dengan pandangan seperti ini, para pemuda loyalis Prabowo meragu dalam berjuang habis-habisan untuk memenangkan Prabowo-Sandiaga dalam pilpres.
Untuk apa menang pada Pilpres 2019 jika itu hanya membuka gerbang bagi musuh dalam selimut untuk merebutnya di tengah jalan?
Bisa jadi demikian gejolak kecemasan dalam benak mereka.
Akhirnya, alih-alih menyatukan barisan ulama (yang tak mungkin sebab di kubu Jokowi ada KH Ma'ruf Amin dan NU), Ijtima Ulama dan paksa integritas justru memecah belah para pendukung sejati Prabowo, setidaknya bikin ragu kelompok-kelompok seperti Gerbong Pemuda Loyalis Prabowo.