Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Gencar Aksi 2019 Ganti Presiden Dampak Internal PKS Tak Solid, Prabowo Rugi

28 Agustus 2018   23:26 Diperbarui: 29 Agustus 2018   10:39 3262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pertengahan Juli 2018, petinggi Gerindra menyerukan kepada para kadernya untuk fokus kembali ke slogan awal mereka, "Gerindra Menang, Prabowo Presiden" (Tribunnews.com, 18/07/2018). Dengan itu kita menduga Gerindra membebaskan diri dari slogan sekutunya, PKS, "#2019GantiPresiden." 

Dalam artikel "Apa Kunci Prabowo Bisa Balik Kondisi Jadi Kemenangan Lawan Jokowi?" saya mengupasnya sebagai wujud awas Gerindra pada hasil survei yang menunjukkan jumlah cukup besar rakyat yang tidak memilih Jokowi justru memilih tokoh selain Prabowo atau Golput. 

Maka ketika  Prabowo-Sandiaga usai mendaftar tiba-tiba kampanye #2019GantiPresiden kembali masif, banyak yang bertanya-tanya mengapa bisa demikian.

Saya mengajak kita menggali latar belakang yang menyebabkan hal itu. Dalam kesempatan ini, baiknya kita melihat dari sudut pandang kepentingan PKS, partai yang menginisiatifi kampanye tersebut.

Kita tahu oleh informasi yang disampaikan Presiden PKS Sohibul Iman sendiri bahwa banyak kader PKS  yang menggugat atau lebih tepat mempertanyakan haluan politik pilpres para pemimpin PKS yang mendukung Prabowo sebagai calon presiden. Para kader dan anggota PKS keberatan dengan hal tersebut. Alasannya, meminjam bahasa Presiden PKS Sohibul Iman, Prabowo bukan muslim yang ta'at (Baca: Prabowo dan PKS, Balada Dua "Kawan Sejati")

Karena itu, untuk memperoleh dukungan para kadernya, elit-elit PKS berjuang agar cawapres pasangan Prabowo berasal dari kalangan santri. Berulang kali para petinggi PKS menyampaikan, kader-kadernya sulit berkerja all out jika capres-cawapres usungan parpolnya bukan perpaduan kaum abangan dan santri.

Demi kombinasi yang meminjam pendasaran studi Clifford Geertz tentang kondisi masyarakat Jawa--terdiri dari 3 grup sosial utama: priyayi, santri, abangan--PKS merelakan kadernya tidak dijadikan wakil asal tetap dari kalangan ulama. Nama Abdul Somad sesuai rekomendasi forum yang diorganisir GNPF MUI menjadi titik temu PKS dan PAN.

Saya yakin para pemimpin PKS kelimpungan ketika akhirnya Prabowo memilih Sandiaga Uno, sesama golongan abangan sebagai wakilnya. Akrobat Presiden PKS Sohibul Iman dengan memberikan cap santri post-Islamisme kepada Sandiaga tentu tidak bisa diterima mentah-mentah oleh kader, anggota, dan simpatisan PKS.

PKS terjebak demogogi kombinasi umara-ulama, abangan-santri yang digaungkannya sendiri. Ketika kubu Jokowi yang justru merepresentasikan kombinasi umara-ulama, PKS sadar demagogi mereka telah jadi senjata makan tuan.

Saya yakin ada gejolak penolakan di internal PKS pasca-deklarasi Prabowo-Sandiaga. Namun, sebagaimana ciri partai kader yang menjadikan kedisiplinan (keta'atan terhadap pimpinan dalam konteks kultur PKS) sebagai prinsip utama organisasi, perlawanan itu tidak dilakukan dengan frontal. Seruan Fahri Hamzah agar para kader menggulingkan kepemimpinan Presiden PKS Sohibul Iman tidak gayung bersambut.

Sepertinya para kader PKS memilih melawan secara pasif, meminjam tradisi Nusantara Saminisme. Entahlah jika di Arab Saudi, Mesir, atau Turki, kiblat politik PKS ada pula pola perlawanan seperti itu.

Survei yang diselenggarakan Alvara Research Center membongkar keberadaan perlawanan pasif itu. Hanya separuh kader dan simpatisan PKS yang menganggap Prabowo layak jadi presiden sesuai aspirasi mereka (Kompas.com, 26/08/2018).

Survei itu juga menunjukkan hasil serupa survei sejumlah lembaga lain sebelumnya --berfungsi sebagai triangulasi--bahwa suara PKS pada pemilu 2019 nanti tidak mencapai ambang batas elektoral.

Hal ini sebenarnya sudah dipahami PKS dan parpol-parpol lain. Percakapan dan perdebatan politik yang menempatkan Joko Widodo dan Prabowo sebagai sentral topik selama 4 tahun terkahir ini--perpanjangan dari setahun masa pilpres 2014--menyebabkan coat-tail effect 'efek ekor jas' sangat terasa dalam pemilu dan pilpres 2019 (baca juga: "Ancaman PKS dan PAN Campakkan Prabowo, Karena Uang atau Prabowo Bukan Santri?")

Survei Alvara dan lembaga-lembaga lain membuktikannya. PDIP dan Gerindra menjadi parpol dengan perolehan suara terbesar, jauh meninggalkan parpol-parpol lain.

PKS harus dapat mengatasi dua tantangan ini sekaligus. Rendahnya elektabilitas parpol dan memudarnya soliditas internal akibat pembangkangan kader dan anggota terhadap keputusan mendukung Prabowo-Sandiaga.

PKS menyimpulkan jalan terbaik untuk merengkuh sekaligus dua kendala itu adalah memperkencang kampanye #2019GantiPresiden.

Harapannya jumlah rakyat pemilih Jokowi dan (terutama) swing voters yang menjauh dari kubu Jokowi bertambah besar. Dengan itu, jumlah suara yang akan dibagi-bagi antara Gerindra, PKS, PAN, dan Partai Demokrat bertambah banyak.

Tetapi itu saja belum cukup. PKS harus memastikan suara rakyat yang tak ingin Jokowi terpilih kembali sebanyak mungkin mengalir ke PKS sebagai vote bagi caleg-calegnya, bukan ke Gerindra, PAN, ataukah Partai Demokrat.

Agar bisa berdampak seperti itu, PKS tidak boleh mengkampanyekan Prabowo dan Sandiaga. Mempromosikan keunggulan Prabowo dan Sandiaga sama saja memperbesar keuntungan elektoral Gerindra.

Inilah alasan mengapa PKS menggencarkan kembali kampanye #2019GantiPresiden. Dengan slogan itu, PKS berharap Jokowi kian terdegradasi, kian banyak calon pemilih yang beralih posisi. Tanpa berkampanye positif mempromosikan keunggulan Prabowo-Sandiaga, PKS juga mencegah suara rakyat yang tidak puas kepada Jokowi dimonopoli oleh Partai Gerindra.

Kerugian Prabowo

Seperti disinggung pada paragraf awal, kampanye negatif kepada Joko Widodo mungkin berdampak memperlambat laju elektabilitas Joko Widodo, bahkan menggerusnya. Sayangnya, karena ketiadaan kampanye positif mempromosikan Prabowo-Sandiaga, pemilih yang berpaling dari Joko Widodo belum tentu memilih Prabowo-Sandiaga.

Pernyataan Mahfud MD yang menggemakan lagi prinsip yang dipopulerkan Magnis Suseno pada Pilpres 2014, "minum malum" mencegah yang jahat berkuasa tampaknya didasari oleh pembacaan terhadap kondisi meningkatnya potensi golput (saya mengulasnya di "Menebak Arah Falsafah Politik Elektoral "Minus Malum" Mahfud MD.").

Bagi PKS, tak masalah jumlah pemilih golput sebab itu berarti secara relatif menaikkan persen peroleh suara PKS (meski nominalnya sama), mungkin menyelamatkan mereka dari jerat electoral threshold.

Inilah keuntungan partai kader seperti PKS. Mereka memiliki muatan dasar yang solid. Golput biasanya lebih besar datang dari massa pengambang, pemilih parpol-parpol massa yang bersifat terbuka. 

Sebaliknya kondisi ini tentu saja merugikan bagi Gerindra. Orang-orang yang telah berhasil dihalau dari kemungkinan bersimpati kepada Joko Widodo seharusnya berpaling ke arah Prabowo-Sandiaga, bukannya golput.

Baiklah, demikian pembacaan saya. Tentu saja sebatas dugaan yang belum tentu benar.

Pada artikel berikutnya, kita akan coba menduga kepentingan atau sudut pandang Gerindra di balik upaya menggencarkan kampanye #2019GantiPresiden. [@tilariapadika]

Sumber informasi:

Kompas.com (26/08/2018) "Hanya 53,3 Persen Pemilih PKS Anggap Prabowo-Sandiaga Sesuai Aspirasi." 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun