Anggota Dewan Pembina Partai Golkar Fadel Muhammad mengatakan gara-gara Joko Widodo memilih Ma'ruf Amin sebagai cawapres, Partai Golkar pecah secara internal dalam mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Sebagian berjuang untuk kemenangan Joko Widodo, sebagian sibuk mengurus kemenangan dalam pemilu legislatif (Merdeka.com, 21/08/2018)).
Bagi saya pernyataan Fadel Muhammad ini wajar. Bukan cuma Golkar dan bukan hanya di kubu Joko Widodo hal ini terjadi. Pekan lalu, Wasekjend Partai Demokrat Andi Arief juga mengatakan hal serupa. Partai Demokrat bahkan lebih tegas lagi, SBY dan AHY tidak masuk dalam tim pemenangan, hanya bersedia menjadi penasihat (Tirto.id, 17/08/2018).
Partai-partai lain sebenarnya juga demikian namun tidak menyampaikannya secara gamblang. Misalnya Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, di depan kader yang datang dari daerah-daerah menyatakan perjuangan PAN untuk meraih kursi ke parlemen lebih penting dibandingkan pemenangan capres-cawapres. Koalisi capres dilakukan demi meningkatkan perolehan kursi PAN (Kompas.com, 09/08/2018).
Demikian pula PKS yang meski membubuhkan stempelnya dalam surat dukungan Prabowo-Sandiaga, tidak bisa diharapkan kader-kadernya akan sungguh berjuang memenangkan capres-cawapres meski Presiden PKS Sohibul Iman telah melantik Sandiaga menjadi "santri" (Republika.co.id, 19/07/2018)
Ketua Umum PKB Muhaimmin Iskandar bahkan sudah sejak jauh-jauh hari memberi sinyal jika bukan dirinya yang jadi cawapres pendamping Joko Widodo, warga NU yang berada di bawah pengaruh politik PKB tidak akan berjibaku berjuang bagi kemenangan Jokowi.
Di kubu Jokowi-Maruf Amin, selain PDIP, hanya Nasdem dan PSI yang tampaknya benar-benar mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin dengan sepenuh hati. Kedua parpol ini tidak pernah menawari kadernya menjadi cawapres Joko Widodo.
Namun tidak tertutup kemungkinan ada juga demoralisasi di tubuh PSI karena cawapres Jokowi adalah Ma'ruf Amin yang turut terlibat gerakan memenjarakan Ahok. PSI secara terang-terangan menyatakan sikap politiknya yang lebih senang Mahfud MD menjadi cawapres Jokowi (Kompas.com, 11/08/2018).
Ada 3 alasan mengapa parpol-parpol anggota koalisi di luar PDIP dan Gerindra hanya akan separuh hati memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga.
Pertama, kita tahu koalisi yang ada bukan koalisi ideologis atau platform.
Koalisi terbentuk oleh transaksi jabatan alias dagang sapi. Itu sebabnya di kubu Prabowo-Sandiaga, PKS yang dahulu para pendirinya turut menyuarakan reformasi--meski setengah hati--kini bisa bergandengan tangan dengan Partai Berkarya milik para pentolan Orde Baru bahkan anak-cucu Soeharto itu sendiri.
Sementara di kubu Joko Widodo, Hari Tanu dan Perindo yang dulu gencar mengkritik pemerintahan Joko Widodo kini seolah-olah lupa masa lalu, tampak ceria 'berkakak-kikik" dalam koalisi.
Sudah lumrah, koalisi berbasis transaksi jabatan rentan pecah jika ada parpol yang merasa "harga" yang dijanjikan tidak sesuai permintaannya.
Kedua, masalah di internal parpol sendiri.
Bukan hanya koalisi yang tidak ideologis. Parpol-parpol itu sendiri tidak memiliki ideologi yang jelas dan para politisi yang bergabung ke parpol juga bukan orang-orang yang memiliki gagasan tentang Indonesia masa depan yang mereka inginkan. Umumnya para politisi itu bergabung ke parpol untuk menjadi caleg demi nafkah yang lebih baik atau rente ekonomi dari pengaruh politiknya.
Maka bagi mereka parpol hanya sejenis taksi Uber atau Grab yang mengantarkan mereka ke tujuan pribadinya. Parpol tidak dipandang sebagai milik sendiri.
Ini menyebabkan loyalitas terhadap parpol sangat renggang.
Ketika haluan politik harian parpol (termasuk arah koalisi pilpres) dianggap tidak menguntungkan mereka, para politisi ini tidak akan memperjuangkannya, bahkan bisa jadi menyeberang seperti Fadel Muhammad yang mengancam mendukung Prabowo-Sandiaga hanya karena Sandiaga sama-sama berasal dari Gorontalo.
Ketiga, Parpol-parpol selain Gerindra dan PDIP merasa coat-tail effect 'efek ekor jas', yaitu suara yang diperoleh caleg parpol dari pendukung capres-cawapres yang akan jadi bagian mereka kecil saja sebab capres dan cawapres bukan kader mereka.
Karena itu tidak ada insentif bagi petinggi parpol untuk menegakkan disiplin internal, mengancam sanksi bagi caleg yang tidak all-out memenangkan capres-cawapres yang mereka usung.Â
Untuk apa merisikokan perpecahan di internal parpol mereka jika semua perjuangan ini hanya akan menguntungkan PDIP dan Gerindra secara elektoral? Hal inilah yang ada dalam pikiran parpol-parpol pendukung koalisi di kedua kubu.
Akar dari semua ini adalah politik Indonesia yang tidak lagi ideologis. Orang mendirikan parpol atau bergabung dalam parpol bukan untuk memperjuangkan gagasan-gagasan mulia tentang bagaimana bangsa dan negara ini berjalan, melainkan untuk kepentingan pribadi para politisi, yaitu gaji tinggi dan rente ekonomi dari pengaruh politik mereka.
Sumber:
- Merdeka.com (21/08/2018) "Fadel Muhammad: Golkar pecah, besar kemungkinan dukung Prabowo-Sandi."
- Kompas.com (09/08/2018) "Zulkifli Hasan: Yang Terpenting Bagi PAN, Jumlah Kursi di DPR Meningkat"
- Republika.co.id (19/07/2018) "Militansi Kader PKS Menangkan Prabowo Diragukan, Jika...
- Kompas.com (11/08/2018) "Mahfud MD Batal Jadi Cawapres Jokowi, Ini Komentar PSI."
- Tirto.id (17/08/2018) "Twit Andi Arief Bukti Demokrat Setengah Hati Dukung Prabowo-Sandi?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H