Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Caleg dari Kalangan Artis Minus Kapasitas, Memangnya yang Non-artis Tidak?

19 Juli 2018   16:14 Diperbarui: 20 Juli 2018   15:04 2779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Caleg Artis DPR Pemilu 2019: Manohara dari Partai Nasdem [instagram.com/manoharaodelia.pinot], Krisdayanti dari PDIP [instagram.com/krisdayantilemos], Angel Lelga dari Perindo [instagram.com/angellelga]

Parpol zaman now memang cenderung abai terhadap kapabilitas politisinya sebab mereka mengutamakan kuantitas kursi di parlemen sebagai jalan berkuasa, dan bukannya kualitas anggota parlemen untuk memperjuangkan platform parpol sesuai yang dikampanyekan kepada rakyat. Yang dikejar adalah kekuasaan, bukan kesempatan memperjuangkan kebijakan-kebijakan publik yang sesuai platform Parpol.

Tetapi untuk apa juga memperjuangkan platform? Toh dari parpol nomor 1 hingga nomor terakhir, platform-nya sama saja. Mereka tak pernah sungguh-sungguh bertengkar di parlemen oleh perbedaan platform.

Parpol zaman now tampaknya memang tidak dibangun sebagai wadah bagi kelompok-kelompok sosial masyarakat untuk memperjuangkan kepentingannya; tidak sebagai tubuh politik pragmatis dari gagasan-gagasan, ideal-ideal tentang kehidupan publik, yang beragam dan saling bertumbukkan itu.

Parpol zaman now adalah alat bagi para pendiri, pengurus, dan cukongnya untuk mengakses kesempatan memanfaatkan rente ekonomi dari porsi kekuasaan mereka.

Konsekuensinya rakyat tidak dipandang penting untuk dijadikan sungguh-sungguh anggota parpol. Rakyat hanya didaftarkan sebagai anggota demi lolosnya parpol sebagai peserta pemilu dalam verifikasi faktual KPU. Kartu-kartu anggota dicetak hanya untuk itu dan berlaku hanya saat itu. Selebihnya para anggota itu sama derajatnya dengan konstituen massa mengambang yang dibutuhkan suaranya ketika hari pencoblosan tiba. Begitu perhitungan suara dimulai, berakhir pula hubungan pura-pura mesra antara rakyat dan parpol.

Karena itu, parpol tidak memandang penting pembangunan infrastruktur organisasi yang memadai menjangkau rakyat.

Jangankan menjangkau rakyat, struktur parpol tingkat kecamatan sering hanya berfungsi saat verifikasi kepengurusan oleh KPU (dan oleh Dephumham untuk parpol baru). Lima tahun sekali, sebagai syarat administratif mengikuti pemilu, barulah parpol mengingat struktur kecamatannya. Saat itu Surat Keputusan kepengurusan diperbaharui. Sibuk dan hiruk-pikuk kantor-kantor parpol mencari pengurus baru yang bersedia namanya dicantumkan dalam SK sebab baru diketahui saat itu, nama-nama sebelumnya telah meninggal, merantau, atau pindah ke partai lain.

Bahkan demikian pula nasipnya kepengurusan tingkat kabupaten/kota. Di luar masa pilkada dan pemilu, satu-satunya penanda sebuah bangunan pernah menjadi sekretariat parpol adalah papan nama yang berdiri di halaman. Tak ada lagi aktivitas di dalamnya. Lampu-lampu berhenti menyala, laba-laba membangun sarang di ruang tamu, orang bisa menanam jagung di atas meja ketua oleh tebalnya lapisan debu.

Gara-gara itu, para politisi fungsionaris parpol tidak dikenali rakyat. Wajarlah jika parpol membutuhkan bantuan selebritas untuk meraih suara.

Tetapi seringkali parpol berlaku tidak adil terhadap para caleg artis. Mereka sekedar dimanfaatkan untuk mendongkrak suara elit parpol atau sekadar memobilisasi orang berduyun-duyun menghadiri pengelaran kampanye terbuka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun