Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ditolak oleh Jusuf Kalla, Mungkinkah AHY Berpasangan dengan Amien Rais?

1 Juli 2018   08:09 Diperbarui: 2 Juli 2018   09:28 4693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jusuf Kalla dan Agus Harimurti Yudhoyono [Diolah dari Kompas.com]

Saya membayangkan 28 Juni lalu sejumlah kader Partai Demokrat bergairah saling mengirim pesan. "Mantap, Bang. MK tolak judicial review UU Pemilu. JK tak bisa cawapres lagi. Peluang kita dorong dia jadi capres pasangan Mas AHY." Sayangnya gairah itu harus segera padam, seperti bara tersiram air.

Mahkamah Konstitusi pada 28 Juni memang memutuskan menolak pengajuan uji materi pasal 169 huruf n dan pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kedua pasal itu mengatur soal larangan bagi orang yang telah 2 kali menjabat presiden atau wakil presiden kembali dicalonkan untuk untuk jabatan yang sama (Merdeka.com, 28/6/2018).

Pengajuan judicial review ini dilakukan oleh seorang warga negara dan dua organisasi, yaitu Muhammad Hafidz, Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi (Perak), dan Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS).

Para pengaju mengharapkan pembatalan pasal itu oleh MK sehingga Om Jusuf Kalla dapat kembali dicalonkan sebagai wapres mendampingi capres Joko Widodo.

Sayangnya, para pengaju tidak memiliki legal standing sebab mereka bukan pihak yang mengalami kerugian konstitusional oleh pasal 169 dan 227 UU Pemilu.

Tanpa harus menguji materi, MK memutuskan menolak pengajuan itu. Demikianlah memang mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi.

Dengan penolakan tersebut, otomatis Om Jusuf Kalla tidak bisa lagi dicalonkan sebagai wapres. Peluang untuk memasangkan Jokowi-JK dalam Pemilihan Presiden 2019 nanti kandas sudah.

Hal ini tentu saja menguntungkan Partai Demokrat yang sedang kebingungan mencari pasangan bagi jagoannya, Agus Harimurti Yudhoyono, putra sang pendiri sekaligus ketua umum Partai Demokrat, SBY.

Partai Demokrat memang ngotot hendak memajukan Agus Harimurti Yudhoyono dalam hajatan Pilpres 2019 nanti. Mereka tentu membantah jika dikatakan niat itu merupakan titah SBY. Mereka akan berargumen, aspirasi AHY maju sebagai calon presiden atau wakil presiden datang dari akar rumput.

Rasanya memang lebih pas menduga upaya pencalonan AHY pada Pilpres 2019 sebagai kehendak SBY. Tetapi bisa jadi kehendak SBY bukan didasarkan pada kasih sayang seorang ayah a la Indonesia yang melakukan apapun, tak peduli benar atau salah, demi kesuksesan putra terkasih dan kelanggengan dinasti dalam dunia politik. 

Masuk akal jika kita menduga kehendak SBY mendorong putranya maju dalam Pilpres 2019 justru demi kepentingan yang lebih besar dari urusan kejayaan trah-nya, yaitu kepentingan Partai Demokrat.

Partai Demokrat tidak akan bisa mengambil banyak untung suara dari Pemilu dan Pilpres 2019 jika ia ikut-ikutan mengusung Jokowi atau Prabowo. "Untuk apa pilih Demokrat? Sekalian saja pilih PDIP atau Gerindra yang memang parpol Jokowi atau Prabowo itu sendiri." Demikian pertimbangan pemilih saat pemilu nanti.

Mengusung Jokowi atau Prabowo berarti berkampanye membesarkan tokoh partai lain, menggemukan aset partai lain, yang artinya juga memperkuat parpol kompetitor. Ini merugikan Partai Demokrat.

Maka selama masih tersisa peluang, Partai Demokrat akan berupaya untuk menempatkan tokohnya sendiri sebagai capres atau cawapres.

Sialnya, setelah Anas Urbaninggrum dipenjara karena korupsi, Partai Demokrat hanya memiliki satu-satunya tokoh: Susilo Bambang Yudhoyono. Beruntunglah, momentum Pilkada DKI Jakarta lalu dimanfaatkan Demokrat untuk menciptakan tokoh baru, Agus Harimurti Yudhoyono.

Karena Undang-undang tak membolehkan SBY dicalonkan lagi sebagai presiden dan SBY tidak mungkin mau menjadi cawapres, pilihan yang tersisa adalah mencalonkan AHY.

Lebih baik kalah dalam Pilpres namun suara partai bertambah dalam Pemilu dibandingkan Partai Demokrat tidak mendapat apa-apa. Tanpa calon sendiri, Partai Demokrat akan rugi ganda. Sudah tak ada penambahan suara, bahkan mungkin berkurang, harus bekerja memperkuat aset--tokoh-- partai politik lain pula.

Persoalannya, Partai Demokrat juga sadar diri bahwa jago mereka, AHY masih rendah nilai jualnya untuk hajatan seakbar Pilpres. Ia masih hijau dalam politik dan pemerintahan. Bukan saja karena belia usia, AHY juga belum pernah bermain di lapangan pemerintahan.

"Bagaimana bisa seorang serdadu menengah tiba-tiba menjadi presiden atau wakil presiden? Ini negara, bukan kompi serdadu!" Itu pertanyaan dan pernyataan rakyat yang sulit Partai Demokrat jawab. Mereka paham itu.

Karena itu AHY harus dicarikan pasangan tokoh senior, baik senior dalam usia pun senior pengalaman.

Jusuf Kalla yang sudah 20-an tahun malang melintang di pemerintahan, sebagai menteri dan 2 kali wapres, adalah pilihan ideal sebagai capres yang berpasangan dengan AHY. Dengan Jusuf Kalla sebagai capres, cap masih hijau pada diri AHY dapat ditepis.

Maka beragam langkah ditempuh Partai Demokrat, termasuk mengatur pertemuan Jusuf Kalla dan SBY.

Buncah harapan terbit di hati para kader Partai Demokrat ketika Jusuf Kalla bersedia bertemu dengan ketua umum mereka, Susilo Bambang Yudhoyono 26 Juni lalu di Kuningan. Para kader mendamba, pertemuan ini merupakan sinyal keiklasan Jusuf Kalla dicapreskan Partai Demokrat, berpasangan dengan AHY.

Demi pinangan mereka diterima Jusuf Kalla, segala upaya memang ditempuh Partai Demokrat. Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahean bahkan tak malu mengeluarkan pernyataan tak logis, menafsirkan keputusan MK sebagai tanda alam agar JK mau menjadi capres.(Detik.com, 28/6/2018)

Tetapi Partai Demokrat harus mengubur harapannya. Pada 28 Juni lalu, Jusuf Kalla menyampaikan kepada sejumlah media, ia tak ingin dicalonkan presiden pada 2019 mendatang. Ia ingin beristirahat, memanfaatkan hari tua untuk merawat cucu (Merdeka.com, 28/6/2018).

Mungkin cucu sekadar alasan Jusuf Kalla agar Partai Demokrat tidak tersinggung. Mungkin Jusuf Kalla tidak ingin menjadi capres jika yang mencalonkan adalah Partai Demokrat dan dipasangkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono. Mungkin Jusuf Kalla sudah pertimbangkan, duetnya dengan AHY hanya akan berakhir kekalahan.

Apapun alasan Jusuf Kalla, Partai Demokrat harus mencari nama lain untuk dipasangkan dengan AHY. Itu jika benar Partai Demokrat berpikir hanya dengan mengajukan calon sendiri, Partai Demokrat dapat mengambil untung suara dari Pemilu dan Pilpres 2019 nanti.

Peluang yang paling mungkin diambil partai demokrat adalah dengan menyambut deklarasi pencapresan Amien Rais, yang selain disuarakan oleh Amien Rais sendiri, kini diperkencang pula dengan meminjam mulut Syarwan Hamid, bekas jenderal yang juga bekas menteri di masa Habibie.

Pada 30 Juni 2018, Syarwan Hamid bersama sejumlah orang mendeklarasikan dukungan kepada Amien Rais untuk maju sebagai capres pada Pemilu 2019.

Partai Demokrat berpeluang membentuk koalisi bersama PKS dan PAN jika menjodohkan Amien Rais dan Agus Harimurti Yudhoyono. 

Koalisi antara Partai Demokrat (10,9% kursi DPR), PAN (8,6% kursi DPR) dan PKS (7,1% kursi DPR) sudah lebih dari syarat jumlah kursi minimal di DPR untuk dapat mengusung capres dan cawapres.

Mendukung Amien Rais dan berkoalisi dengan PAN dan PKS adalah pilihan yang lebih mungkin diambil Partai Demokrat dibandingkan tunduk pada kepemimpinan Gerinda dengan Prabowo sebagai capres. Selain nilai jual pasangan Probowo-AHY yang militer-militer tidak terlampau menguntungkan, dalam koalisi bersama Gerindra, SBY sulit memimpin sebab ada figur Prabowo di sana.

PAN dan PKS sangat mungkin menerima tawaran koalisi jika Partai Demokrat menawarkan pasangan Amien Rais-AHY sebagai capres-cawapres 2019. Posisi Amien Rais sebagai capres akan lebih pas untuk menjual isu sektarian, memperkuat eksploitasi stigma Poros Mekah lawan Poros Beijing yang mulai dikampanyekan PKS melalui kadernya Muhamad Idrus , pertengahan Juni lalu.

Apakah SBY dan Partai Demokrat berani mengambil pilihan membangun koalisi sektarian ini demi keuntungan optimal bagi partainya pada Pemilu 2019? Mari kita tunggu dan lihat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun