Saya tidak pernah menyangka jika di Oh'aem I ini, madu dijadikan seperti sup saja. Heh, kalian seperti hidup di surga. Bahkan bocah-bocah Pandawa dan Kurawa yang berlimpah susu dan mentega akan cemburu kepada kalian," batin saya penuh iri.
Pastikan Om-Tante telah membaca "Bagian 1" artikel ini.
Baru beberapa puluh meter mobil berjalan, kami harus berhenti. Di depan sedang ada pengerjaan jalan. Bau aspal panas menyengat. Drum roller kecil merayap  malas, mondar-mandir seperti setrika, meratakan kerikil yang disebar para buruh dari tumpukan muntahan sejumlah truk.
Truk-truk memperhatikan gerak  drum roller. Sejumlah truk yang tak sabar menderumkan mesin, seperti mendesak drum roller bergegas. Mungkin juga mereka sedang bergunjing, mensyukuri kenyataan, ternyata mereka bukan kendaraan terlambat di muka bumi seperti cemo'oh banyak mobil kecil lincah yang mereka dijumpai di jalanan kota yang ramai. "Jalan sepanjang 1,5 km dari dana desa," kata seorang warga.
Heuh, bersyukurlah desa-desa ini, mereka sudah bisa mengelola sendiri dananya, memastikan kondisi jalan tidak mengundang umpatan. Jalan raya yang baru saja kami lewati mungkin milik kabupaten atau provinsi, atau pusat. Entahlah. Yang pasti selama 5 tahun beberapa kali saya lalui, tak ada perbaikan.
Tanpa menunggu persetujuan rombongan, saya segera turun, melangkahkan kaki menuju rumah terdekat.
"Haloooo, mama, kantor desa masih jauh?"
"Mungkin 200 meter lagi, Pak," jawab ibu-ibu di rumah itu.
 Tante Lesti, admin Perkumpulan Pikul tadi informasikan  acara baru akan dimulai jam 16 sore. Ini baru pukul 12. Saya punya kesempatan foto-foto ume bubu---makanya baca "Bagian 1" dulu agar Om-Tante tidak bingung sendiri baca ini-- yang sudah sejak tadi bikin penasaran.
"Mama punya ume bubu di belakang?"