Saat hendak berpisah, mereka berjabat tangan. Selembar uang Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu berpindah ke telapak keponakan. Tak perlu amplop.
Itu lah yang terjadi di Manggarai atau pula---dugaan saya---secara umum di NTT. Tidak ada pemberian uang yang dilakukan khusus saat hari raya. Hanya orang-orang Tionghoa yang melakukan itu di saat hari raya, disebut angpau, bukan "salam tempel."
Pemberian angpau tidak bisa disebut "salam tempel" karena semua orang sudah tahu dan sudah melihat ada setumpuk amplop berisi uang yang hendak dibagikan.
Maka dari sisi saya, dari sisi kultur saya, tidak mungkin menyebut praktik membagi-bagikan uang saat hari raya, entah Lebaran, Natal, atau Tahun Baru China sebagai salam tempel. Saya menyebutnya bagi-bagi uang saja.Â
Bagaimana saya menilai praktik itu bagi-bagi uang itu? Saya bertanya kepada diri sendiri.
Ah, itu kebudayaan orang, tradisi orang. Jika mereka nyaman dan bahagia melakukannya, jika mereka merasa tradisi itu baik-baik saja, biarkan mereka melakukannya. Mengapa saya yang harus berpendapat?
Baiklah. Tampaknya diri saya mau cari aman. Saya harus ubah pertanyaannya. Bagaimana jika itu kelak menjadi tradisi di NTT?
Wah, kalau itu repot. Ngeri juga membayangkan itu jadi tradisi di sini kalau benar caranya seperti yang diceritakan di media, orang-orang dewasa membagi-bagikan secara terbuka, seperti pembagian sembako oleh politisi.
Saya sudah cukup perih melihat wajah orang-orang tua yang kebingungan saat anaknya menerima Sakramen Ekaristi (dalam agama Katolik) untuk pertama kali, dikenal dengan nama Sambut Baru.
Biasanya Sakramen Ekaristi diberikan saat anak telah duduk di kelas 4 SD. Anak yang sudah Sambut Baru boleh menerima sakramen Ekaristi, selembar roti pipih bundar tak beragi perlambang tubuh Kristus, sebuah peringatan perjamuan akhir sebelum Yesus disalib.
Entah dimulai kapan, memestakan Sambut Baru sudah jadi tradisi. Yang namanya pesta di NTT berarti ratusan orang diundang untuk makan-makan. Jelas butuh uang banyak.