Bulan Mei 2018 tampaknya bulan terberkati. Banyak hari besar keagamaan jatuh saat ini. Orang-Orang Kristen merayakan kenaikan Yesus Kristus ke Surga (10 Mei), diikuti Hari Raya Pentakosta (20 Mei). Orang-orang Budha merayakan Waisak (29 Mei). Pada separuh dari hari-hari di bulan ini, Orang-Orang Islam berpuasa.
Maia, si sulung dari 7 putri Atlas itu tentu bergembira namanya telah dipakai untuk bulan penuh puja-puji kepada Sang Ilahi.
Lengkaplah sudah keunggulannya atas 6 saudarinya, para pelayan Atermis putra Zeus.
Dua adiknya, Electra dan Taygete boleh berbangga tubuh mereka turut dikehendaki Zeus seperti dirinya. Tetapi Electra hanya mengandung Dardanus dan Iasion; percintaan Zeus dan Taygete hanya menghasilkan Lacedaemon. Sementara dirinya, oh betapa beruntung. Dari celah pada pangkal kedua kakinya, tangis pertama Hermes yang agung terdengar.
Hermes, putranya yang dipuja pencuri, disanjung para bentara, dihormati para gembala. Hermes, si penyampai pesan yang agung. Siapa orang Yunani yang tak kenal?
Bailkah Maia, bergembiralah dirimu. Tetapi ini Indonesia, bukan Yunani. Kami mengimpor agama-agama dari Asia, yang datang menggusur keyakinan pagan nenek moyang kami. Kami tak mengenal dirimu.
Orang-orang Yunani mungkin memuja dan menyambah dirimu. Tetapi di mata kami, dirimu, seperti dewa-dewa Yunani lain, hanya sekumpulan mitologi yang indah dibaca dalam kisah-kisah klasik atau ditonton bersama kekasih di bioskop-bioskop yang memutarkan imajinasi Hollywood.
Pergilah Maia. Kembalilah ke pelukan Zeus. Biarkan saya bercerita tentang bulan ini, bulan kelima yang kebetulan dinamakan dengan namamu oleh Aloysius Lilius, si pengusul kalender Gregorian.
Malam-malam bulan Mei di Kota Kupang memang penuh puja-puji kepada Yang Kuasa. Orang-orang Islam akan bergegas menuju masjid untuk bertarawih. Acara-acara tv didominasi tayangan religi. Ini Ramadan, bulan puasa, saatnya iblis dijauhkan sejenak dari diri kita. Biarkan ia kembali sebagai amarah, kebencian, penindasan, ketamakan, dan mau menang sendiri nanti saja, di bulan-bulan mendatang.
Bulan Mei juga bulan Maria bagi orang-orang Katolik. Ini bulan yang dipersembahkan khusus untuk berdoa bersama Bunda Maria, Ibunda Tuhan Yesus, yang lewat perantaraan rahimnya, Tuhan hidup sebagai manusia.
Pada malam-malam di bulan Mei, umat Katolik dalam organisasi yang disebut Kelompok Basis Gereja (KBG) atau Kelompok Umat Basis (KUB), biasanya terdiri dari kurang lebih 30 rumah tangga, berdoa bersama di tiap-tiap malam. Itu sebabnya di kalangan Katolik, Mei disebut Bulan Maria atau Bulan Rosario.
Maka terberkatilah malam-malam bulan Mei oleh kumandang doa-doa membelah langit, oleh orang-orang Islam yang bertarawih di masjid dan orang-orang Katolik yang bersembahyang bersama, bergilir dari satu rumah ke rumah lainnya.
Saya? Apa yang saya lakukan?
Oh, tidak. Saya bukan seorang religius. Saya sangat tak patut dicontohi untuk itu. Saya hanya duduk di depan laptop, mengetikkan satu dua artikel.
Biasanya, jika putra saya ada bersama saya---ia sedang jauh bersama emaknya dan baru akan kembali akhir Juni ini--, ia lah yang biasa menghadiri sembahyang bersama di bulan Maria. Tak pernah dirinya absen barang semalam pun. Saya bangga dan hormat padanya, putra tunggal yang belum 10 tahun usianya.
Ya, malam-malam bulan Mei 2018 ini adalah malam religius, malam ketika orang-orang berusaha sekuat daya untuk menghindari dosa.
Itu yang tampak dalam kehidupan luring, kehidupan kita yang biasa.
Tetapi manusia masa kini memiliki dua dunia, luring dan daring. Hebatnya, kita bisa menjadi diri yang berbeda di kedua dunia ini.
Maka ketika saya melirik halaman-halaman media sosial, caci-maki masih saja memenuhi dinding-dinding. Umumnya saling serang dua kubu: pendukung Prabowo versus pendukung Jokowi.
Saya membayangkan, andai kita adalah orang-orang Yunani zaman dulu, yang boleh menciptakan dan memuja banyak dewa tanpa takut ancaman pentung serombongan orang yang menganggap suci diri sendiri, mungkin seseorang sudah dini hari membangun mitos bahwa Jokowi dan Prabowo sesungguhnya dewa. Lalu tak butuh waktu lama mitos itu bersambut, mendapat pengikut-pengikutnya yang setia.
Akhirnya, suatu ketika kita merasa perlu mengabadikan nama kedua dewa baru itu ke dalam penanggalan. Mungkin kita akan menciptakan bulan baru di antara Juni dan Juli, serta satu lagi di antara Maret dan April. Kita akan mengambil masing-masing 15 hari dari keempat bulan itu dan menambahkannya kepada dua bulan baru: Bulan Bowo dan Bulan Joko.
Bukan itu saja, karena biasanya kepada setiap dewa ditempelkan predikat sebagai pelindung sesuatu, maka demikian pula Dewa Bowo dan Dewa Joko perlu menjadi pelindung atas sesuatu itu.
Saya pikir belum ada satupun dewa di jagat ini yang diberikan atribut sebagai pelindung kampret dan kecebong. Mungkin sudah saatnya kedua makluk itu diberikan pelindungnya. Mau kan, Pret? Bong? [@tilariapadika]
Baca yang lain di Seri EDISI RAMADAN Tilaria Padika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H