Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Belanja Kenangan di Kota Tua Kupang

9 Juni 2018   20:52 Diperbarui: 19 Juni 2018   05:21 2959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harusnya hari ini saya kunjungi tempat itu. Sudah dua hari saya merencanakannya. Sayang, hidup tak selalu berjalan menurut rencana kita. Batal!

Padahal, saya butuh mengambil foto-foto dari sana, merasakan suasana terkini di tempat itu. Saya harus menulis artikel tentang tempat belanja favorit saat Ramadan, tema hari ini yang diminta admin Kompasiana untuk even sebulan menulis artikel bertema Ramadan.

Waktu membuat rencana artikel, saya memiliki beberapa pilihan. Salah satunya mungkin bertanya kepada kerabat dan kenalan Muslim, "Di mana tempat belanja favorit kalian untuk keperluan Ramadan atau Idul Fitri nanti?"

Itu tampaknya akan mudah. Saya hanya butuh beberapa pertanyaan lanjutan seperti mengapa, apa hebatnya tempat itu, dan apa yang kalian beli di sana.

Tetapi kemudian saya berpikir lagi. Pilihan itu tampaknya memalukan. Saya akan terlihat seperti ibu-ibu yang mengada-adakan bahan obrolan dalam arisan Rukun Tetangga. Itu akan aneh. Sebabnya bukan saja karena saya om-om, tetapi juga saya versi om yang sangar, dengan kumis, janggut, dan rambut tak terawat.

Kawan-kawan saya yang dari Medan akan katakan, "wajah Batak hati Nia Daniati."Kadang-kadang mereka menggantinya dengan Obby Mesakh, Dedy Dores, dan sejumlah nama penyanyi dan pencipta lagu melankolis zaman old yang mengendap dalam memori mereka yang ogah move on dari romantisme era pita kaset itu.

Tentu saja saya tidak mau begitu. Saya lebih senang  disebut Ikang Fauzy. Bukan karena ia beristri Marissa Haque---saya lebih suka Shahnaz Haque---tetapi karena ia penyanyi rock.

Saya ingin jadi penyanyi rock. Itu sepertinya cocok bagi saya sebab mereka tampak hanya berteriak-teriak saja. Saya telah dikutuk---entah oleh siapa---untuk tuna-nada, tak bisa membedakan tinggi rendah nada.

Baiklah. Saya lantas mengubah rencana tulisan. Saya coba merenung. Jika saya hendak berbelanja untuk suatu momen spesial, ke mana saya akan pergi?

Mungkin akan mudah jika saya katakan ke mall. Kebetulan di Kupang sudah ada setidaknya 3 mall besar dan puluhan toko swalayan besar. Tetapi itu akan terasa aneh sebab saya bukan orang yang cukup punya uang untuk percaya diri katakan mall adalah tempat belanja favorit saya.

Maka pekerjaan merenung pun menjadi berat. Andai soal ini bisa diserahkan ke Dilan saja, dan biarlah Milea duduk di samping saya, berceloteh tentang apa saja yang ia ingin saya tuliskan. Apa sih yang tidak untuk Milea.

Saya lantas teringat, bicara tempat dan diri berarti bicara sejarah. Begitulah yang biasanya terjadi ketika dirimu mewawancarai orang-orang di suatu desa, "Siapa kalian?"

Mereka akan bercerita kapan dan dari mana mereka datang, nenek moyang mereka tepatnya, tempat apa saja yang mereka singgahi.

Lihatlah, studi tentang komunitas akan selalu berisi tempat dan waktu. Memang begitu, sebab hakikat diri adalah akumulasi perjalanan hidup, sejak lalu hingga kini, dan harapan-harapan akan masa depan.  Maka sejarah adalah kenangan yang terverifikasi---penyimpulan kolektif atas kenangan individu-individu---dan kenangan itu selalu terikat kepada tempat dan waktu. Tanyakan saja kepada Katon Bagaskara.

"Pulang ke kotamu (tempat) ... Masih seperti dulu (waktu) tiap sudut (tempat) ... di persimpangan (tempat) ..." dan seterusnya. Kita adalah kumpulan kenangan. Kenangan adalah waktu dan ruang. Maka kita adalah lintasan waktu dan ruang.

Itu sebabnya mengenali diri---komunitas adalah diri kolektif---selalu melibatkan studi topogeny. Kapan dan di mana mereka pernah berada sebelum menjadi kini yang di sini, dan sebelum ke depan entah di mana.

Kita adalah akumulasi sejarah yang mengkristal dalam kenangan. Sejarah adalah ruang dan waktu. Itu kata-kata kuncinya!

Bicara tentang tempat belanja yang jadi kenangan, saya memiliki satu, sebuah kawasan yang saya kira bukan milik kenangan saya seorang. Ia milik bersama, milik orang-orang Kupang yang lahir satu era pun masa sebelum saya.

Zaman dahulu di Kupang hanya ada dua kawasan perbelanjaan. Yang paling tua dan karena itu paling ramai adalah kawasan pertokoan di Kelurahan Lai-Lai Bissi Kopan, disingkat LLBK. Kelurahan LLBK ini yang kini dikenal sebagai "kota tua" Kupang.

Dulu saya selalu punya pertanyaan, mengapa kawasan itu dinamakan demikian, Lai-lai Bissi Kopan.

Saya sempat salah mendengar Bissi sebagai Besi. Saya lantas menduga, karena dialek Melayu Kupang menyebut "lagi" sebagai "lai", mungkin tempat itu dinamakan Lai-Lai "Besi" Kopan karena di sanalah bangunan-bangunan beton berdiri. Karena kota terus bertumbuh, bangunan-bangunan toko bermekaran, orang-orang dulu berkata penuh takjub, "ah, lai-lagi (lagi-lagi) besi kopan."

Kadang-kadang juga saya berpikir itu mungkin karena banyak orang Tionghoa, seperti lazimnya kawasan perdagangan tua di Nusantara. Orang-orang Tionghoa itu banyak yang bermarga Lay, termasuk yang mendirikan dan mengelola Klenteng di Kupang, Klenteng Lay yang dibangun pada 1865.  Itu dugaan saya. Dulu.

Setelah lebih beradab (maksudnya lebih berpengetahuan), menjadi tahulah saya bahwa nama itu berasal dari nama leluhur orang Helong, suku yang tiba dari Pulau Seram dan dahulu mendiami wilayah yang kini disebut LLBK itu. Pimpinan mereka bernama Laibesi (Bisilisin). Rombongan Laibesi dan 30an keluarga Helong adalah gelombang kedua kedatanan orang-orang Pulau Seram di Kupang. Sebelumnya telah ada rombongan pertama yang dipimpin Laikopan.

"Lai" itu sebenarnya sapaan untuk tuan. Orang Timor dari wilayah Belu menyebutnya Rai. Orang Timor di wilayah lebih ke Barat menyebutnya Nai. Orang Helong mengucapkannya sebagai Lai. Ya, seperti kacang Turis yang berbeda pelafalannya: Turis-Tunis-Tulis.

Sebelum tergoda bicara terlalu banyak tentang sejarah pra-lintasan pribadi saya, saya ceritakan dulu tentang kawasan pertokoan LLBK ini.

Kini lihatlah kawasan dalam tangkap layar google map berikut

Kawasan pertokoan LLBK/Kota tua Kupang. Diolah dari google map dan Collectie Tropenmuseum Haven van Kupang.
Kawasan pertokoan LLBK/Kota tua Kupang. Diolah dari google map dan Collectie Tropenmuseum Haven van Kupang.
Toko-toko di kawasan LLBK berdiri berjejer di kiri-kanan jalan yang membentuk dua blok bangunan. Blok pertama adalah yang di samping pelabuhan tua Kupang, yang dilalui Jalan Ikan Paus.

Ketika kecil dulu, jika hendak bikin potret diri, ayah membawa saya ke sini. Ada studio foto  terkenal dan mungkin terbesar di masa itu. Jika tak salah ingat namanya Roda Baru Photo.

Sekali yang saya ingat adalah ketika karnaval 17 Agustus. Saat itu saya masih Taman Kanak-Kanak. Ayah-Ibu membelikan saya seragam tentara untuk dikenakan saat karnaval. Saya berbaris bersama teman-teman se-TK, berparade, mulai dari Kantor Gubernur hingga ke kawasan Kota Tua ini. Lumayan juga untuk bocah 5 tahun, 4 km jarak tempuhnya.

Bubaran karnaval, saya berfoto di studio tadi. Saya ingat foto itu. Dalam balutan seragam tentara, saya tersenyum, ada lesung pipit-nya. Heh, sudah hilang lesung pipit itu. Saya tak lagi manis seperti masa taman kanak-kanak dahulu.

Kawasan kedua adalah blok yang dibentuk oleh Jalan Siliwangi dan Jalan Cendrawasih. Ruas Jalan Siliwangi adalah yang paling ramai.

Dahulu toko-toko di sana terlihat sangat besar. Namun setelah kawasan di Kuanino, di Selatan Kota Kupang mulai berkembang, toko-toko di LLBK menjadi tampak kecil. Dan ketika swalayan bermunculan di kawasan Oebufu yang dahulu hanya persawahan dan tempat "jin buang anak," toko-toko di LLBK seperti berubah menjadi sekumpulan rumah liliput yang gemetar ketakutan di pojok sunyi.

Saat SD saya paling senang jika diajak ayah-ibu ke sini. Di siang hari, saat ayah punya uang lebih, ia menjemput saya dari sekolah dan mengajak makan es campur. Jika tak salah ingat, nama restoran es campur itu Karang Jaya. Entahlah. Suatu ketika saya lewati tempat itu, sepertinya telah berganti toko pakaian.

Saya lupa, jika sore hari ayah dan ibu mengajak ke sana untuk berbelanja apa. Saya hanya ingat di malam hari menjelang pulang. Hati kami harap-harap cemas menanti angkot. Dahulu namanya bemo, berupa mobil mitsubishi L300 yang beratap seperti oplet. Sejak mikrolet tipe Suzuki Carry dan Mitsubishi T120 muncul, kami mulai mengenal kata angkot.

Saat itu kawasan rumah lama kami masih daerah pinggiran. Kini ia sudah jadi pusat kota, tempat berdiri kantor-kantor pemerintah.

Dahulu hanya satu bemo yang melayani rute ke sana. Namanya Cindy Lauper. Bemo kedua, yang muncul setelah Cindy Lauper bernama Daya Timor, diikuti Skid Row beberapa tahun kemudian.

Ya, bemo-bemo di Kupang diberikan nama, disemprot pewangi, ditempeli macam-macam aksesoris dan dilengkapi perangkat audio-tape yang berbunyi bagus. Om Arswendo pernah menulis tentang bemo-bemo ini dahulu, menjulukinya sebagai diskotik berjalan.

Saat pulang ayah-ibu biasa sempatkan membelikan saya dan adik kue terang bulan (martabak bangka) dan terkadang martabak. Jika sedang punya uang lebih, mereka belikan roti kelapa.

Roti kelapa itu enak, dan khas Kota Kupang. Hingga kini masih ada. Beberapa kali saya coba belikan untuk putra saya, berharap ia akan sesenang saya dahulu.

Di belakang pertokoan itu dulu pernah ada pasar basah terbesar di Kota Kupang. Namanya Pasar Solor sebab di sana dulu orang Solor tinggal. Kita sudah pernah bicarakan soal orang Solor ini di artikel "Mengintip Masjid-masjid Tertua yang Ada di Timor." Dahulu ibu sering membawa saya turut saat berbelanja kebutuhan dapur ke pasar Solor ini. 

Oh iya, saya lupa. Kelurahan LLBK ini berhimpit dengan Kelurahan Solor dan Bonipoi. Saya tidak tahu pasti  di mana batas-batasnya.

Mungkin saya perlu sudahi dulu berkisah soal kenangan dan tempat belanja favorit ini. Suatu saat nanti, saya akan cerita bagaimana kawasan ini muncul dan kemudian berkembang jadi Kota Kupang.

Om-Tante mungkin akan kaget jika saya bilang suku-suku utama pendiri Kota Kupang adalah: orang-orang Hakka Tiongkok, orang-orang Helong Pulau Seram, orang-orang Afrika yang dibawa Portugis, orang-orang Belanda dan orang-orang Solor.

Yup. Tunggu saja artikel berikutnya. Kapan-kapan e. [@tilariapadika]

Baca yang lain di Seri EDISI RAMADAN Tilaria Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun