Saya tak punya pengalaman terkait THR yang menarik untuk diceritakan. Ya Om-Tante tahulah, Â saya petani. Ketika masih buruh pun kuli serabutan. Meski pernah dikontrak sebagai kuli untuk tiga tahun, saya tak punya hak atas THR sebab bersatus konsultan. Hiks. Karena itu saya ceritakan saja pengalaman orang.
Tuan Huber namanya. Ia bekerja sebagai tenaga keamanan pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi  (PLTP) Ulumbu di Manggarai. Ini kisah dua puluhan tahun lampau, saat PLTP itu masih dalam tahap awal pengembangan oleh kontraktor asing.
Ketika itu menjelang hari raya. Natal. Tuan Hubert dipanggil staf bagian keuangan. Di dalam ruangan, Tuan Hubert menerima amplop dan disuruh tanda tangan tanda terima.
"Ini punya Bapak," kata staf keuangan.
Tuan Huber melakukannya tanpa banyak tanya meski pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepala. Amplop apa ini? Bukankah kini belum saatnya gajian? Mengapa terasa lebih tebal dari biasanya?
Tetapi ah, sudahlah. Mungkin karena menjelang hari raya, gaji diberikan lebih awal. Baik juga perusahaan ini, memikirkan kebutuhan belanja untuk hari raya. Demikian Tuan Huber menenangkan kecamuk tanya di benak.
Selanjutnya Tuan Huber kembali bekerja seperti biasa. Pekerjaannya memperhatikan kendaraan dan orang-orang yang keluar masuk kompleks PLTP, memastikan semuanya baik-baik saja.
Bubaran kerja Tuan Huber kembali ke rumah. Ia berjalan kaki saja. Ketika itu jasa ojek belum banyak tersedia di sana. Maklum, PLTP itu terletak di pedalaman.
Sehari-hari Tuan Huber jalan kaki pulang-pergi kantor. Demikianlah umumya orang-orang desa. Jarak 4 kilometer adalah dekat saja bagi mereka.
Setiba di rumah, Tuan Huber serahkan amplop yang diterimanya tadi kepada istri.