Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karakter Rezim dan Tantangan Serikat Buruh

26 Mei 2018   13:00 Diperbarui: 26 Mei 2018   16:37 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah dari intisari.grid.id dan tribunnews.com

Tetapi saya berani menduga, asumsi negara yang seperti itu ia dapatkan dari Jessop. Adalah Bob Jessop yang memperkenalkan strategic relational approach (SRA) dalam memahami negara. Pendekatan itu melihat state power sebagai relasi sosial, sebagai dampak sekaligus---sebaliknya--sebagai medan pertarungan, ruang yang mewadahi sekaligus membatasi kelas-kelas sosial dalam menjalankan strategi memperjuangkan kepentingannya.

Pendekatan strategic relational itu sendiri Jessop kembangkan salah satunya dari Poulantzas. Poulantzas adalah teoritikus negara dari kubu strukturalis Marxist. Kubu ini mengembangkan pemikiran Althusser dan Gramsci yang mengembangkan sisi strukturalis dalam teori negara Marx.

Teori negara Marx memang memiliki dua sisi. Sisi strukturalis dan sisi instrumentalis. Sisi yang kedua dikembangkan Ralf Milliband.

Nelson memetakan dua jenis pendekatan atau tiga taktik pemerintah dalam menaklukkan serikat buruh, untuk memastikan kepentingan kelenturan pasar tenaga kerja diterapkan.

Pendekatan pertama adalah membangun pakta sosial. Pendekatan ini mengombinasikan dua taktik: persuasi dan konsesi terbatas. Pendekatan pakta sosial merupakan favorit rezim demokratis.

Om-Tante bisa meminjam penjelasan Anke Hassel untuk mendapatkan gambaran lebih detil tentang pendekatan pakta sosial pemerintah dalam menaklukan serikat buruh.

Dalam papernya "The Politics of Social Pacts" (British Journal of Industrial Relations, Des 2003. pp 707-726), Hassel menjelaskan pendekatan pakta sosial antara pemerintah dan buruh dari sudut pandang teori Neo-corporatist.

Teori ini menjelaskan---dan menyarankan---pemerintah membuat kebijakan publik yang memberi ruang kepada kelompok kepentingan (serikat buruh) untuk mengartikulasikan kepentingan mereka secara konstitusional---dengan cara yang disepakati publik---dan dengan begitu serikat buruh didorong untuk meninggalkan strategi perjuangan militan seperti pemogokan dan unjukrasa.

Pendekatan ini efektif kepada serikat-serikat buruh terpusat dan besar sebab disertai konsesi tambahan berupa monopoli representasi dalam lembaga-lembaga perwakilan.

Kom Moody dalam bukunya Workers in a lean world (Biddies Ltd, 1997) menyinggung pula soal neo-corporatism ini sebagai konsep 'social partner' yang melucuti 'senjata' (disarm) serikat-serikat buruh tradisional (old union, pure and simple unionism). Serikat-serikat buruh di Eropa Barat terpaksa menerima konsep ini (1970an hingga awal 1980an) sebagai strategi bertahan dari krisis yang menghancurkan perannya sebab dengan menerima posisi sebagai partner, mereka mendapat imbalan berupa proteksi negara.

Jika Om-Tante akrab dengan isu perburuhan, pandangan neo-corporatist ini tentu mengingatkan kepada --salah satunya--Dewan Pengupahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun