Hadiah lebaran Idul Fitri itu antara tulus kurang tulus. Tulus sebab saya benar-benar hendak memberikannya kepada mereka. Saya tak menyesal karena tiada sesuatu pun yang berkurang dari saya. Toh saya tak mungkin menyimpannya tak terpakai.
Tetapi itu sekaligus kurang tulus sebab berharap imbalan, yaitu suara mereka dan suara orang-orang dalam pengaruh mereka dalam Pemilu nantinya. Tentu saja saya tidak menyampaikan begitu. Hanya harapan di dalam hati. Tetapi dengan cetakan timbul lambang dan nama partai di sana, saya berharap kelak begitu hasilnya.
Itu berarti pemberian saya bersifat do ut des kata orang Romawi Kuno. Do ut des adalah pemberian yang bersifat komutatif. Anda memberi sesuatu agar menerima sesuatu dari orang yang sama. Kata orang Manggarai: dodo.
Do ut des dan dodo. Heuheu, sekali lagi  orang Romawi meniru orang Manggarai. Seperti Joak jadi iocus yang kemudian jadi hoax, begitu pula dodo menjadi do ut des. Paragraf ini sekedar joak, Om-Tante. Lihat pengertiannya di artikel "Tuan Martinus Dilarang Bicara."
Setelah sebulan, kabar menyenangkan tiba. Saya mendapat telepon dari anak salah satu Om Ismail.
Saudara jauh saya itu berterima kasih karena selama ini ayahnya salat tanpa alas sajadah khusus. Kata dia sajadah memang tidak wajib. Yang terpenting masjid itu bersih.
Tetapi dengan sajadah pemberian saya, Om Ismail merasa lebih spesial sebagai imam masjid sebab hanya segelintir umat di kampungnya yang memiliki sajadah. Apalagi sajadah kiriman saya tebal dan indah, lebih mahal dari kepunyaan orang-orang kaya di kampung. Mereka berpikir sajadah pemberian saya itu jutaan harganya.
Saya tak tahu persis, di antara dua Om Ismail yang imam masjid, anak Om Ismail yang manakah yang menelepon.
Menerima ucapan terima kasih seperti itu saya merasa malu sendiri. Betapa tanpa pengorbanan apa-apa, memberikan sesuatu yang bukan saya beli sendiri bisa jadi sangat berarti bagi orang lain.
Begitulah Om-Tante. Jangan berharap ketulusan dari politisi. Satu-satunya kalangan politisi yang saya yakin tulus memberi kepada rakyat adalah politisi ektra-parlementer generasi era 80an-awal 90an yang meletakkan fondasi bagi penggulingan Soeharto dulu. Materi, waktu, masa depan, bahkan nyawa mereka berikan bagi rakyat, bagi kehidupan bangsa yang lebih baik.
Entahlah setelah mereka kini ada dalam lingkaran kekuasaan atau dalam kepengurusan pusat partai-partai di parlemen. Saya tidak tahu apakah mereka masih setulus dulu atau tidak. Melihat polarisasi yang kaku berkubu ke dua kutup Jokowi dan Prabowo, saya kurang yakin ada kemerdekaan berpolitik di sana, kemerdekaan yang jadi dasar ketulusan.