Beruntunglah saya tidak buru-buru melakukan ini dan memilih menelusuri lebih lanjut.
Rupanya setelah keputusan MA Juli 2015, Yayasan Supersemar kembali melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan ke PN Jaksel. Keputusan PN Jaksel pada Juni 2016 mengabulkan sebagian gugatan Yayasan Supersemar sehingga jumlah aset yang akan dieksekusi hanya berkisar Rp 309 miliar hingga Rp 706 miliar. Turun jauh, hanya berkisar 9-20 persen dari nilai yang diputuskan MA.
Karena itu Kejaksaan Agung melayangkan kasasi ke MA pada Juli 2017. Baru pada 19 Oktober 2017 keputusan MA keluar dengan memenangkan gugatan Kejagung. Dengan demikian jumlah aset yang harus dieksekusi kembali ke semula, Rp 4,4 triliun. (Kompas.com)
Pada 11 Januari 2018 lalu, Ketua PN Jaksel telah mengeluarkan penetapan pengabulan permohonan eksekusi lelang dan pencarian rekening Yayasan Beasiswa Supersemar. (Kompas.com) Itu berarti proses eksekusi harta kekayaan Soeharto hasil penyelewengan dana Yayasan Supersemar sudah kick-off.
Om-Tante kecele dengan judul artikel ? Tak banyak kupas soal capres? Salah Om-Tante sendiri. Om-Tante terlalu bergairah berpolitik sih. Sayangnya politik Om-Tante sekedar politik cheerleader, politik suporter bola. Asal ramai.
Artikel ini sebenarnya bertujuan memetik pelajaran. Pertama untuk konteks pribadi kita. Jangan buru-buru ambil kesimpulan lantas menulis tanpa dasar di media sosial. Akan malu sendiri kita nantinya.
Kedua, negara ini menganut trias politika. Pemerintah bukan pemegang palu atas semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Urusan pengadilan terhadap koruptor dan eksekusi atas harta-kekayaannya adalah domain pengadilan. Tangan pemerintah hanya kepolisian dan kejaksaan, bukan pengadilan. Meskipun harus diakui, dalam konteks deep state atau shadow state, kekuasaan yudikatif dan eksekutif lazim berselingkuh.
Prinsip peradilan yang independen penting untuk dijaga meski seringkali keputusannya terasa tidak adil bagi rakyat banyak. Tetapi jika kita---demi percepatan pemberantasan korupsi---hendak mengaburkan batasan ini dan menuntut pemerintah (politik) untuk secara sewenang-wenang mengambilalih wewenang lembaga peradilan, ke depan kita mungkin yang akan jadi korban, seperti semasa Orde Baru dahulu.
***
Tilaria Padika
21052018