Meski juru dakwah anggota PII, Pak Ipong seorang toleran. Adik kandungnya, yang juga tinggal bersampingan warung Pak Ipong adalah pengiman Katolik. Hubungan dua lelaki bersaudara itu mesra-mesra saja.
Warung Pak Ipong adalah tempat makan saya sehari-hari. Di awal bulan saya telah serahkan sejumlah uang. Setiap makan, Ibu Ipong mencatat. Jika deposit saya menipis, ia akan sampaikan untuk saya setorkan lagi.
Warung Pak Ipong kecil saja. Ruang depan hanya menampung enam orang pada mejanya yang memanjang membentuk huruf L. Banyak orang lebih senang duduk bersila di ruang dalam yang juga ruang keluarga Pak Ipong, makan sambil menonton berita pada televisi.
Di ruang tengah itu bertemu berbagai suku dan tentu saja agama. Anak-anak UGM dari Cemara Lima banyak anak Manggarai-Flores (Katolik) dan Batak (Protestan). Di ruang itu mereka makan bersama anak-anak Islam, terutama aktivis HMI cabang Bulaksumur yang sekretariatnya tak sampai 100 meter dari situ.
Ketika Ramadan tiba, saya cemas akan kesulitan mendapat makan. Saya berencana membeli rice cooker, kompor, dan wajan.
Baru saja saya hendak ke luar untuk membeli barang-barang itu, Bu Ipong berdiri di depan pagar. "Mas, nanti warungnya saya tutupi kain. Kalau mau makan masuk saja."
Awalnya saya pikir keluarga Pak Ipong telah beralih menjadi Islam Kejawen, yang waktu itu oleh pengetahuan saya yang terbatas, saya pikir tidak ketat dalam berpuasa.
Hari pertama puasa saya makan di warung itu. Untunglah tiba-tiba terbit rasa penasaran saya, bertanya kepada anak gadis sulung Pak Ipong. "Wi,  jenengan mboten poso, tho?"
"Poso, Mas. Ora bisa ora."
"Bapak ibu?"
"Yo, podho, Mas."