"Kita pun harus menggerakkan Rakyat jelata di dalam suatu pergerakan radikal yang bergelombangan seperti banjir, menjelmakan pergerakan massa yang tadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, yakni massa-aksi yang sadar akan jalan dan maksud-maksudnya. " Â -- Soekarno, Mentjapai Indonesia Merdeka (Maret 1933)
Entah siapa yang telah begitu berkuasa mengubah pengertian radikalisme menjadi jahat. Tentulah seorang berpengaruh tetapi tuna-literatur atau mungkin demikian kepentingannya, yang sayangnya dikutip begitu saja oleh kuli warta, lalu publik  latah menggaungkan ke mana-mana. Maka radikalisme sebagai keutamaan yang mulia itu, yang dianjurkan itu, yang berjasa membuat bangsa ini tidak lagi membungkuk pada Ratu Belanda atau Kaisar Jepang, menjadi label bagi gerombolan sisa milisi bentukan militer pada era reformasi dahulu.
Padahal radikal menurut kamus belum berubah. KBBI daring mendefinisikannya sebagai "1 secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); 2 amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3 maju dalam berpikir atau bertindak."
Pada masa perjuangan kemerdekaan, lawan kata radikal adalah segala hal yang menjadi sumpah serapah, orang-orang yang seharusnya dijauhi oleh rakyat banyak. Radikal berlawanan dengan kompromis, komprador, opportunis.
Memang ketika radikal menjadi isme, KBBI mendefinisikannya sebagai: "1 paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik."
Apakah benar radikalisme itu dalam tindakan harus berupa jalan kekerasan untuk mewujudkan pembaharuan sosial dan politik secara drastis?
Sebelumnya, penting untuk dipahami konteks sejarah bahwa tanpa radikalisme, berarti tak ada Indische Partij, tak ada Sarekat Islam, tak ada PKI, tak ada PNI, yang berarti tak ada Kemerdekaan Indonesia.
Jika seluruh organisasi pergerakan kebangsaan dahulu mengambil garis Boedi Oetomo yang moderat itu, yang kompromis itu, maka kita kini hanya akan jadi bangsa tanpa negara. Kita hanya sebuah wilayah persemakmuran dari Kerajaan Belanda atau sebuah wilayah administratif dengan otonomi khusus di bawah Kekaisaran Jepang.
Jika tidak ada kaum radikal dalam perjuangan pemuda era 1980-1990an, mungkin hingga kini Soeharto masih memerintah dengan sehat walafiat dan status pada dinding facebook kita penuh dengan puja-puji munafik akan keberhasilan pembangunan yang palsu, yang realitasnya hanya indah di televisi.
Orang-orang telah keliru menyamakan aksi-aksi gerombolan milisi sisa PAM Swakarsa bentukan TNI di unjung hidup Orde Baru dengan radikalisme.
Aksi-aksi sweeping pub, pembubarkan demonstrasi kelompok demokratik dan minoritas, aksi-aksi main hakim sendiri, pembakaran buku-buku kritis, dan seruan-seruan kebencian SARA yang dilakukan gerombolan itu tidak ada hubungannya dengan sikap radikal. Sepak terjang kelompok itu jauh hubungannya dengan upaya menuntut perubahan yang mendasar, perbaikan yang hingga ke akar-akarnya.
Bahkan berkebalikan. Aksi-aksi bekas milisi binaan militer itu dilandasi adat dan paham tua, berlandaskan nilai-nilai konservatif, berkebalikan 180 derajat dengan sifat radikal yang---oleh KBBI---berpikiran dan bertindak maju, progresif.
Orang-orang telah keliru juga menyamakan radikalisme dengan sikap dan tindakan kaum puritan. Bahasa kita---dan bahasa seluruh bangsa beradab---telah menyediakan istilah khusus untuk tendensi politik kaum puritan ini: fundamentalis, yang berarti "penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci" (KBBI).
Dalam pemetaan politik, fundamentalis itu ditempatkan dalam kelompok garis kanan, bersama dengan kaum konservatif lain: fasis, militeristik. Penganut garis keras ekonomi pasar yang hendak menjalankan haluan ekonomi negara dengan liberalisasi ugal-ugalan juga disebut fundamentalis pasar.Â
Sementara politik Radikal ditempatkan di kelompok kiri. Gerakan orang-orang yang berpikiran maju dan menghendaki perubahan mendasar menuju masa depan yang lebih berkemajuan itu radikal. Itu pula sebabnya, Â para ekonom yang memperjuangkan perombakan mendasar atas haluan ekonomi pasar yang serba liberal dan penuh ketidakadilan sering disebut ekonom radikal.
Maka memberikan cap radikal kepada fundamentalis berdampak menyesatkan.
Nah, pada sayap kiri dan kanan ini ada garis keras yang disebut ekstrim kanan dan ekstrim kirim, atau ultra-left dan ultra-right. Kelompok ekstrim atau ultra inilah yang kerap menghalalkan kekerasan atau aksi teror. Contohnya Ku Klux Klan yang merupakan organisasi ekstrim kanan kulit putih rasis di Amerika Serikat, Contras (Nikaragua), Combat 18 (Inggris), United Patriots Front (Australia), Al-Shabaab (Somalia), Boko Haram (Nigeria). Â Sementara di ekstrim kiri contohnya Baader-Meinhof Group (Jerman), Narodnaya Volya (Rusia), Liberation Tigers of Tamil Eelam (Sri Lanka), dan Japanese Red Army.
Di satu sisi, orang-orang benar jika mengaitkan radikalisme dengan aksi massa, seperti yang Soekarno katakan pada lead di awal artikel.
Aksi massa bukan hal yang buruk. Begitu banyak kebaikan dalam sejarah, capaian kemanusiaan dalam peradaban dapat kita nikmati sekarang ini oleh karena aksi-aksi massa di masa lampau.
Sekali lagi mengutip Soekarno, "Tidak ada suatu perobahan besar di dalam riwayat dunia yang akhir-akhir ini, yang lahirnya tidak karena massa aksi. Tidak ada transformasi di zaman akhir-akhir ini, yang tanpa massa aksi."
Sistem demokrasi  yang kita nikmati sekarang ini, lembaga parlemen tempat kita perjuangkan aspirasi, dan pemilu sebagai wadah berdemokrasi sipil-politik tidak akan kita kenal tanpa ada aksi-aksi massa 1789--1799 di Prancis. Revolusi Prancis adalah periode sosial radikal, adalah masa gerakan massa rakyat melahirkan demokrasi politik moderen ke dalam peradaban ini.
Aksi massa adalah media berdemokrasi yang konstitusional. Semua negara beradab mengakui dan mewadahi hak rakyat untuk berdemonstrasi karena paham bahwa tidak semua aspirasi politik terwadahi dalam politik parlementaris. Apalagi untuk konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang parpol-parpolnya mengidap penyakit aristokrasi akut, hanya melayani kepentingan pendiri, pemilik, elit pengurus, dan cukong-cokong pendananya.
Rakyat tidak bisa terlalu berharap parpol-parpol itu mewakili kepentingan rakyat. Maka aksi massa adalah jalan alternatif bagi rakyat untuk berpolitik, untuk memperjuangkan kepentingan, aspirasi-aspirasinya agar didengarkan dan dipenuhi penguaha. Tidak ada yang salah dengan itu.
Radikalisme tidak harus berkaitan dengan kekerasan. Tiga serangkai Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara adalah kaum radikal. Soekarno adalah penganjur ulung radikalisme. Tanpa mereka Indonesia mungkin tidak akan merdeka. Apakah mereka main kekerasan?Â
Aksi massa radikal yang dianjurkan Soekarno adalah "aksi massanya massa-aksi. Massa-aksi bukanlah sembarangan pergerakan massa, bukanlah sembarangan pergerakan yang orangnya ribuan atau berjuta-juta" tetapi "yang bewust dan insyaf ... Â tidak amuk-amukan saja, melainkan konsekuen-radikal yang berdisiplin."
Begitulah, Tuan-Puan. Jadi sebelum dirimu ikut salah salah gunakan istilah radikalisme itu, ingatlah kata-kata Soekarno:
"Saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah nasionalisme radikal daripada si melarat dan si lapar, yang bersumpah membongkar susunan masyarakat yang menolak padanya sesuap nasi ! ... . Contructivisme kita bukanlah contructivismenya kaum reformis yang warung-warungan dan kedai-kedaian itu, tetapi ialah contructivismenya radikalisme."
Maka tahun kemarin, ketika sebuah perguruan tinggi pendidikan agama minta saya bicara dalam seminar Harkitnas tentang bagaimana mencegah radikalisme di dalam kampus, saya katakan, bagaimana bisa begitu sebab justru sebaiknya radikalisme itu dianjurkan. Yang diperangi adalah fundamentalisme, adalah puritan dan aksi-aksi kekerasan. Yah, entah kecelakaan atau bagaimana, saya tak dihubungi lagi. Ketika kelak undangan dan ToR tertulis tiba di siang hari, seminar itu telah berlangsung sejak pagi. "Mohon maaf, Om, miskordinasi anak-anak panitia," kata Bu Dosennya. Tak apa-apa. Kebenaran itu pahit, Kakak.
Gelorakan radikalisme! Lawan fundamentalisme kaum puritan!! Selamat Hari Kebangkitan Nasional!!!
***
Tilaria Padika
18052018
* Seluruh kutipan pernyataan Soekarno dalam artikel ini berasal dari bukunya, Mentjapai Indonesia Merdeka (Maret 1933).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H