Dalam persaingan merebut kekuasaan dengan Tunku Abdul Rahman, Â Tun Abdul Razak Hussein menggunakan pemikiran-pemikiran Mahathir di dalam The Malay Dilemma.
Ketika akhirnya Tun Abdul Razak Hussein berhasil menjadi perdana menteri, pemikiran Mahathir digunakan sebagai landasan penyusunan kebijakan ekonomi baru (New Economic Policy).
Dengan demikian, sejak sebelum menjadi perdana menteri pada 1981, pemikiran-pemikiran Mahathir telah menjadi landasan bagi haluan baru kebijakan ekonomi Malaysia yang diskriminatif---dalam kebijakan publik, diskriminatif tidak selalu berarti negatif---bagi warga etnis Melayu. Tetapi baru saat Mahathir menjadi PM (1981), larangan peredaran The Malay Dilemma dicabut.
Pada 2000-2002, Mahathir bersama Abdullah Ahmad Badawi merevisi pemikiran New Economic Policy dan berpendapat bahwa sudah saatnya warga etnis Melayu tidak lagi diproteksi melainkan dibiarkan bersaing secara adil dengan warga etnis lain di Malaysia.
Demikianlah, kerusuhan rasial 13 Mei 1969, sejarah kelam Rakyat Malaysia telah mengantar Mahathir menjadi perdana menteri terlama dalam sejarah politik Malaysia, 1981-2003.
Uniknya, Mei 2018, Mahathir kembali terpilih menjadi perdana menteri melalui aliansi partai-partai yang justru mengusung nilai-nilai pluralisme. Politik yang unik. Kita akan membahasnya besok.
Pesan penting sebagai pelajaran atas kasus Malaysia dalam artikel ini adalah:
Pertama, akar konflik identitas itu (agama, etnis, ras) adalah ketidakadilan ekonomi. Maka pendekatan terpenting untuk mengatasi konflik identitas, termasuk  yang kini terjadi di Indonesia dan ditenggarai menjadi sumber aksi-aksi terorisme, adalah dengan mensejahterakan rakyat.
 Kedua, jangan terlalu fanatik mendukung tokoh, Bro n sist. Agar jika mereka berubah haluan, Ente tidak menangis bombay gigit jari di pojok.
***
Tilaria Padika