Pada tempat pertama, saya sampaikan belasungkawa, rasa duka mendalam atas meninggalnya saudara sebangsa dalam tragedi Rutan Mako Brimob, baik 5 orang aparat kepolisian pun seorang tahanan, juga bagi seorang lagi aparat polisi yang tewas dalam peristiwa selanjutnya. Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa mereka, memperhatikan amal baik mereka, dan menerima di sisiNya. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan keiklasan.
Pada tempat kedua, saya sampaikan apresiasi atas sikap Polri yang tidak reaksioner, yang mengedepankan pendekatan tanpa kekerasan dalam operasi pembebasan sandera dan normalisasi kondisi Mako Brimob.
Tindakan seperti itu adalah setepat-tepatnya tindakan aparat negara. Saya tidak bisa bayangkan jika aparat kepolisian bertindak seperti sejumlah serdadu yang menyerbu Lapas Cebongan 5 tahun lalu. Syukurlah, dengan negosiasi disertai ketegasan ultimatum, kondisi dapat kembali pulih tanpa perlu jatuh korban lagi.
Pada tempat ketiga, saya sampaikan harapan agar tindakan baik yang ditunjukkan Polri dalam operasi pemulihan kondisi Mako Brimob dapat menjadi pakem baku. Demikian pula seharusnya tindakan aparat dalam menghadapi konflik antara rakyat dan pengusaha, antara rakyat dan negara.
Semoga sikap menahan diri aparat Polri untuk tidak serta-merta main tembak benar-benar didasarkan kepada kesadaran untuk mengedepankan pendekatan damai dan berkemanusiaan, bukan karena ketakutan jika tindakan keras akan berdampak kepada tekanan massa yang ditunggangi kekuatan politik yang kontra-istana. Semoga demikian pula pendekatan kepada kelompok rakyat lainnya, terutama di dalam konflik-konflik agraria.
Harapan ini penting saya sampaikan sebab saya cemburu. April lalu, hanya dua pekan sebelum peristiwa Mako Brimob, Poro Duka, satu dari ratusan rakyat Sumba Barat yang menolak tanah mereka diklaim investor pariwisata tewas di tempat, ditembak aparat Brimob. Puluhan lain, termasuk anak-anak terluka.
Peristiwa pembunuhan rakyat oleh aparat kepolisian ini bisa Anda baca di Kompas, Tempo, CNN, Tirto, Liputan6 dan banyak situs berita lain. Tak perlu saya ulangi di sini.
Yang menarik, kepolisian tampak berupaya menutup-nutupi kasus ini. Bahkan sempat memberi keterangan jika tak ada proyektil ditemukan di tubuh korban dan kemudian merevisi sendiri pernyataan itu. Baca Tirto.id.
Pola penanganan dengan kekerasan dan upaya menutup-nutupinya bukan baru terjadi.
Pada 2004 dahulu, aparat polres Manggarai memberondong rakyat petani Kopi Colol di Kabupaten Manggarai Timur (saat itu masih Kabupaten Manggarai) dengan peluru tajam. Lima orang tewas di tempat. Seorang meninggal keesokan hari, puluhan lain cacat permanen.
Saya pernah menulis tentang itu saat Hari Kopi Sedunia. Anda bisa membacanya di "Hari Kopi Sedunia dan Kenangan Rabu Berdarah."
Tidak mudah mengadvokasi kasus itu ketika Polri berupaya melindungi pelanggaran HAM yang dilakukan rekan-rekan sekorps.
Saya ingat, bagaimana dulu harus menyamar hanya mengenakan sarung ketika menjemput MM. Billah dan Hasballah M. Saad, dua komisioner Komnas HAM saat itu di Bandara. Dalam kenyakinan kami saat itu, jika komisioner Komnas HAM jatuh ke tangan Polri, dalam arti Polri yang mengantar mereka ke mana-mana, Komnas HAM tidak akan mendapatkan informasi yang benar.
Saya ingat, di tengah rapat bersama sejumlah pastor dari Maumere, Ori Rahman (Kontras), Rudi (Skepi), Doni (STN), Mince (Pikul), PRD, STN, dan pimpinan organisasi mahasiswa saat itu, saya tiba-tiba tersadarkan, "Bukti. Proyektil!" Lalu segera minta salah seorang mengantarkan saya ke Rumah Sakit Santo Rafael Cancar, tempat sejumlah korban tembak yang tidak meninggal dirawat.
Di RS, suster kepala rumah sakit berkata---kurang lebih menurut ingatan saya--"Kalian ceroboh. Nyaris terlambat. Untung saya bukan orang bodoh. Mereka datang, bersikeras  ambil bukti-bukti proyektil. Saya serahkan tetapi paksa mereka tanda tangan berita acara. Mereka takut karena saya bule. Dan ini hadiah untukmu, satu proyektil yang saya sembunyikan. Ada juga foto-foto proyektil lainnya."
"Jangan. Simpan itu. Nanti serahkan langsung ke kawan-kawan Komnas yang ke sini. Saya takut dicegat dalam perjalanan pulang."
Ya, Om-Tante. Kita wajib belasungkawa sedalam-dalamnya atas tewasnya aparat Polri---juga tahanan--dalam peristiwa di Mako Brimob. Kita wajib menghormati jasa mereka dalam melaksanakan tugas. Mereka adalah kusuma bangsa.
Kita wajib mengutuk terorisme dan mendukung kepolisian memeranginya. Tetapi jangan lupa pula, perketat  suara kritis dan kontrol kita terhadap kepolisian  agar di kemudian hari cukup sudah penembakan kepada rakyat yang memperjuangkan hak-haknya.
Adil lah sejak dalam pikiran. Katakan benar jika benar, salah jika salah. Kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak sesempit petarungan Jokowi dan Prabowo.
Tabik. Damai sertamu.
***
Tilaria Padika
12052018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H