Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Rahasia Sawah Jaring Laba-laba di Manggarai, Flores

10 Mei 2018   00:25 Diperbarui: 16 Juni 2018   17:22 3921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spider web field rice di Lingko Meler. Foto: KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Sungguh terkenal persawahan berbentuk jaring laba-laba di Manggarai itu. Sekitar tujuh kompasianer pernah menuliskannya. Di tahun ini artikel tentang itu sudah muncul dua kali. Pertama oleh Kompasinaer Arnold Adoe pada April lalu, kemudian oleh Ita DK di Mei ini. Tetapi tahukah Anda rahasia yang bersemayam di balik ratusan bentuk sawah demikian di Manggarai?

Spider web rice field atau orang Manggarai menyebutnya sawah lodok, adalah simbol, Om-Tante sayang. Ia simbol yang meneriakkan makna, yaitu nilai-nilai dan cara pandang orang Manggarai terhadap kehidupan. Demikianlah kebudayaan Manggarai sebagaimana pandangan Clifford Geertz, adalah tatanan simbol dan makna, adalah lambang-lambang ekspresif dan nilai-nilai yang memungkinkan manusia menafsirkan pengalamannya serta menuntun perilakunya. 

Mari kita pelajari.

Sawah itu  dibuka di atas lahan ulayat yang disebut lingko. Lingko dikuasai secara kolektif oleh warga pemukiman yang disebut beo. Harfiah beo berarti kampung. Arti sebenarnya adalah pemukiman unilokal orang-orang dari satu turunan garis ayah, klan patrilineal genealogis yang disebut wa'u.

Ketika kampung berkembang dan berisi penduduk dari garis patrilineal genealogis berbeda, ia disebut golo. Golo boleh juga merujuk pada kesatuan wilayah yang lebih luas, meliputi pemukiman (beo), pong (hutan keramat), puar (hutan yang boleh dimanfaatkan), uma (kebun), satar (ladang pengembalaan dan perburuan), boa (pekuburan), dan wae teku (sumber air MCK).

Beo atau golo adalah  kesatuan ruang administratif politis terkecil di masa lampau, kesatuan kedaulatan masyarakat Manggarai tradisional. Beo adalah satuan terkecil pemerintahan, yang otonom mengatur diri meski para penduduknya tunduk pada otoritas yang lebih luas berupa wilayah gelarang, kedaluan, dan  adak (kerajaan).

Kedaulatan beo atau golo disimbolkan dengan keberadaan gendang pusaka, alat musik yang bersumber bunyi pada getaran kulit sapi atau kambing ketika dipukul dengan tangan. Gendang pusaka hanya boleh disimpan di rumah adat yang disebut mbaru gendang.

Pada mbaru gendang inilah pemimpin beo atau golo--disebut tu'a golo--tinggal. Di mbaru gendang, masyarakat beo kerap berkumpul, bermusyawarah untuk memutuskan hal-hal penting yang akan dilakukan bersama.

Musyawarah itu disebut lonto leok, harfiahnya duduk melingkar. Lonto leok dilaksanakan dengan semangat "neki weki  manga ranga, weku wa'i rentu sa'i" (harfiah kata perkata" neki: kumpul; weki: badan; manga: hadir atau ada; ranga: wajah; weku: bersila; wa'i: kaki; rentu: kerumun; sa'i: kepala). Artinya tiap-tiap warga beo atau golo hadir, turut terlibat berpikir dan sumbang pendapat.

Lonto leok dengan prinsip "neki weki  manga ranga, weku wa'i rentu sa'i" adalah perwujudan demokrasi sipil-politik dalam kebudayaan Manggarai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun