Maka jadilah regulasi-regulasi ini sebagai kumpulan pasal yang berisi trade-off antara kepentingan buruh, pemodal nasional, kapitalis internasional, dan pemerintah (sebagai subsistem utama negara).
Misalnya, meski hak-hak buruh untuk berserikat diakui, dalam menjalankan aktivitas serikat, UU mengatur bahwa aktivitas serikat di luar jam kerja harus disepakati juga oleh pengusaha di dalam Kesepakatan Kerja Bersama. Jika tidak diatur dalam KKB, pengurus serikat harus mendapatkan izin dari pengusaha. Terdapat banyak kasus di mana pengurus serikat buruh di-PHK karena menjalankan aktivitas berserikat pada jam kerja tanpa izin pengusaha.
UU juga memberikan kebebasan melakukan pemogokan tetapi sekaligus membatasinya. Misalnya  UU 13/2003 (pasal 137) mengatur bahwa "Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan." dan (pasal 138) pemogokan dilakukan tanpa melanggar hukum.Â
Dalam pasal 186---MK dalam keputusan judicial review telah menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat--Pemogokan yang dilakukan bukan sebagai akibat gagalnya perundingan dipandang sebagai pelanggaran pidana yang berkonsekuensi pada hukuman penjara  1 bulan hingga 4  tahun dan/atau denda Rp 10 juta sampai Rp 400 juta.
Dalam pengaturan tentang upah minimum, buruh diberikan ruang yang sama dengan pengusaha di dalam Dewan Pengupahan. Tetapi keputusan Dewan Pengupahan hanya berupa rekomendasi. Veto terhadap tingkat upah berada di tangan pemerintah.Â
Penentuan tingkat upah minimum seolah-olah terletak pada posisi tawar buruh (perundingan dalam dewan pengupahan) tetapi sesungguhnya tunduk kepada kondisi ekonomi, yaitu tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan cara ini, negara kita sebenarnya menganut sistem pengupahan yang semi-lentur, yaitu upah minimum ditentukan negara tetapi bersandar kepada kondisi ekonomi yang tengah berlangsung.Â
Demikian pula pengaturan tentang outsourcing, sistem kerja kontrak, dan penggunaan tenaga kerja asing. Unsur-unsur kelenturan pasar tenaga kerja yang dituntut kapitalisme internasional itu diwadahi tetapi dibatasi dalam tingkatan tertentu.
Meskipun dibatasi, tak terhindarkan pewadahan terhadap tuntutan kelenturan pasar tenaga kerja ini berdampak kepada kehidupan buruh dan serikat buruh, saat ini dan kemudian hari. Ada tantangan terhadap keberadaan  dan posisi tawar serikat buruh, ada tantangan terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut perjuangan buruh. Kita akan membahasnya pada bagian keempat nanti.
***
Tilaria Padika