Sebenarnya kelenturan pasar tenaga kerja lahir sebagai mekanisme adaptasi kapitalisme setelah berakhirnya era ekonomi keynesian dan---fitur politiknya---negara kesejahteraan, alias bermulanya neoliberalisme.
Ketika krisis hutang luar negeri era 1980an---mengikuti krisis harga minyak dunia--melanda Amerika Latin, bertemulah IMF, World Bank, dan US Treasury Department untuk menemukan jalan keluar agar laju keuntungan---paling pas disebut laju akumulasi kapital--- dapat dikembalikan.
Pada 1989, lahirlah 10 agenda liberalisasi yang dikenal sebagai Washington Consensus. Sistem ekonomi dunia yang dijalankan dengan fitur sepuluh konsensus ini dikenal dengan beragam nama: reaganomics, thatcherism, dan yang paling umum adalah neoliberalisme.
Ia disebut neoliberalisme sebab hendak mengembalikan kejayaan liberalisme klasik yang berakhir oleh depresi raya ekonomi dunia 1930an.
Dahulu, pada masa awal perkembangan kapitalisme, perekonomian memang sangat lentur sebab  berjalan dengan prinsip Laissez-faire (diambil dari jawaban Le Gendre dalam pertemuan pebisnis Prancis dengan Jean-Baptiste Colbert, 1668, dan kemudian dipopulerkan oleh ekonom de Gournay dan Quesnay).  Dalam soal upah misalnya, dahulu tidak dikenal yang namanya upah minimum.
Itu sebabnya baik ekonom klasik seperti Ricardo, pun Marx, ketika berteori soal upah mengatakan jika tingkat upah memang akan bergerak di sekitar tingkatan minimum. Menurut Ricardo, sebagaimana umumnya komoditi, harga tenaga kerja bergantung kepada kekuatan permintaan dan penawaran.
Jika jumlah populasi manusia kian banyak---Ricardo melihat populasi manusia sebagai bahan baku tenaga kerja--tingkat upah juga akan turun hingga ke titik di mana orang tidak akan mau bekerja karena kelewat rendah.
Marx sedikit memperbaiki Ricardo. Pertama menurutnya faktor penentu dari sisi suplai tenaga kerja bukan jumlah populasi, tetapi pada perbandingan antara buruh yang bekerja dan yang mencari pekerjaan (industrial reserve army).
Kedua, baik Marx pun Ricardo --berbeda dengan Mill dan teori wage fund-nya-- memandang bahwa total kombinasi jumlah dari profit (majikan) dan upah (buruh) adalah tetap. Tetapi jika Ricardo memandang bahwa upah buruh hanya bisa dinaikkan dengan menekan upah buruh lainnya, Marx berpendapat bahwa kenaikan upah buruh dapat dicapai dengan menekan pengusaha agar mengurangi profit. Tetapi kenaikan ini pun dibatasi oleh kondisi ekonomi.
Saya menahan diri untuk membahas teori-teori pembentukan upah, menyimpannya hingga artikel  beberapa hari ke depan yang membahas unjukrasa menolak PP 78/2015. Jadi saya ringkas bagian ini bahwa konsep upah minimum baru dikenal pada akhir abad 19 di Selandia Baru dan Australia, kemudian diadopsi Ingris pada 1909 lalu oleh ILO pada 1920an. Itupun masih sektoral untuk sektor manufaktur dan perdagangan. Belum ada konsep upah minimum nasional.
Konsep upah minimum nasional baru dikenal dan diratifikasi sejumlah negara setelah ILO menerbitkan Minimum Wage Fixing Recommendation No. 135 pada 1970an.