Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Isu TKA Wajib Politis dan Gaduh, Pak Hanif

26 April 2018   23:30 Diperbarui: 4 Juni 2018   18:55 2731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menaker Hanif ngopi bareng para aktivis yang mengidolakannya di kedai kopi yang saya dirikan. Dokumentasi pribadi

Saya terganggu dan gelisah dengan pernyataan Menaker Hanif Dhakiri yang menyatakan agar isu TKA jangan dipolitisasi. Sebagai menteri yang saya kagumi--mungkin satu-satunya di jajaran pemerintahan Jokowi-JK yang saya hormati integritas dan rekam rejaknya sebab saya terpukau pada sepak terjangnya di masa-masa awal dalam memberantas PJTKI nakal di NTT dan tahu latar belakang beliau---saya kecewa pernyataan itu datang dari Pak Hanif. Mungkin beda soalnya jika menteri lain yang menyatakan itu. 

Pada berita berjudul "Menaker Hanif: Isu Tenaga Kerja Asing Jangan Dipolitisasi" yang dipublikasi kumparan.com (26/04) Pak Hanif mengatakan agar polemik Perpres TKA jangan sampai menimbulkan kegaduhan politik sebab perpres ini bertujuan menciptakan lapangan kerja melalui iklim investasi yang kondusif.

Artikel ini tidak berkapasitas untuk membahas polemik perpres TKA dan kehadiran TKA. Belum saatnya. Saya sedang buat pertimbangan-pertimbangan untuk itu. Bisa jadi akhirnya sejalan dengan posisi pemerintah, bisa juga menyerang.

Saya membatasi tugas artikel ini untuk menggugat pernyataan Pak Hanif tentang politisasi itu. Saya cemas, pernyataan Pak Hanif yang merupakan idola para aktivis muda akan mempengaruhi cara pandang kaum muda tentang yang mana yang seharusnya politis dan yang mana yang tidak.

Isu TKA dan perpres terkait itu, sebagaimana persoalan tenaga kerja lainnya adalah persoalan politis, Pak. Tidak bisa tidak. Ada sejumlah landasan sederhana untuk itu.

Pertama, problem tenaga kerja adalah problem rakyat banyak. Selain petani, buruh adalah warga negara mayoritas. Maka nasib buruh adalah nasib publik. Urusan publik haruslah urusan politik. Itu sebabnya ada  kementerian tenaga kerja.

Seorang menteri adalah pejabat politik, adalah pemerintah. Adanya menteri yang khusus mengurus tenaga kerja menunjukkan betapa strategisnya persoalan ketenagakerjaan sebagai persoalan politik, persoalan publik, sebagai urusan yang perlu diatur dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Kedua, Perpres TKA adalah kebijakan publik, adalah policy, adalah politik. Hal merespon kebijakan pemerintah tidak bisa tidak adalah hal politik.

Kebijakan pemerintah, termasuk Perpres TKA itu, memang harus direspon oleh sebanyak mungkin orang, terutama oleh agen-agen politik --Parpol, anggota DPR, politisi, organisasi buruh, asosiasi pengusaha, dll-- sebab menyangkut persoalan banyak orang dan sebab pada merekalah tanggungjawab itu terpikul.

Saya mengerti, Pak Hanif sebenarnya menyinggung mereka yang menciptakan kegaduhan semata-mata bermotif kekuasaan. Tetapi siapa bisa memeriksa motif, Pak? Lagi pula agen politik memang tidak bisa diceraikan dari hasrat berkuasa. Demikianlah sewajarnya. Biarkan saja.

Respon atas kebijakan publik, kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak memang harus gaduh, harus ramai. Sekali lagi sebab ini problem orang ramai. 

Jika Pak Hanif dan pemerintah tak ingin ramai, jangan membuat kebijakan. Tetapi tidak membuat kebijakan pun akan menuai keramaian sebab itu artinya pemerintah tidak bekerja.

Ketiga, penilaian bahwa perpres itu akan mendorong penciptaan lapangan kerja adalah penilaian yang belum final, belum mencapai kata sepakat. Ini serupa sikap terhadap UU 13/2003, PP 78/2015,dan Permenaker yang lebih operasional.

Hingga kini masih banyak kalangan, terutama para pemimpin dan aktivis gerakan buruh yang menilai peraturan-perundangan perburuhan dan investasi itu berlandaskan semangat mewadahi fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diinginkan pemodal, terutama modal internasional. 

Saya yakin Pak Hanif belum lupa akan kesadaran semasa masih aktivis dulu bahwa UU 13/2003 dan sejumlah produk perundang-undangan lain saat itu merupakan pemenuhan kesepakatan dengan IMF ketika kita menerima bantuan mereka untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis moneter. Tidak ada makan siang gratis.

Pak Hanif juga tentu paham, bahwa sejak menggantikan peran IMF setelah 2003, Bank Pembangunan Asia (ADB) melancarkan program  The Development Policy Support Program (DPSP) --berupa $200 million single-tranche program loan!--yang salah satu dari empat goalnya adalah  improve investment climate. Salah satu aspek dari peningkatan iklim investasi itu adalah reformasi regulasi ketenagakerjaan agar lebih fleksibel. Keyakinan dan kepentingan ADB adalah regulasi ketenagakerjaan yang fleksibel akan mendorong investasi asing lebih banyak masuk.

Pak Hanif tentu tahu bahwa metode pengambilan keputusan kebijakan di ADB sangat dipengaruhi oleh besarnya kepemilikan saham negara-negara anggota. Pengambilan keputusan di Dewan Komisaris--lembaga pengambil keputusan tertinggi di ADB --mengenal yang namanya hak suara proporsional dan hak suara utama. Hak suara utama, yaitu hak suara setiap negara anggota yang jumlahnya sama hanya berbobot 20 persen. Bobot terbesar justru hak suara proporsional yang berlandaskan besarnya penguasaan saham. Jepang dan Amerika Serikat adalah pemegang saham terbesar di ADB, masing-masing hampir 16 persen.

Pak Hanif tentu paham bahwa negara dalam hubungan internasional mewakili kepentingan nasionalnya, terutama kepentingan kelas yang berkuasa: kaum pemodal. Maka ADB adalah struktur suprastate yang menjadi perpanjangan tangan negara-negara maju untuk menggolkan kepentingan nasionalnya terhadap negara-negara lain.

Tidak seperti buzzer upahan dan pendukung alay pemerintahan yang mengata-ngatai segala kritik dan informasi sebagai hoax, Pak Hanif tentu paham benar signifikansi dependency theory dan world system analisys. Sebagai mantan aktivis, tentu Pak Hanif pernah geluti itu.

Maka sungguh beralasan jika banyak pihak curiga bahwa semangat menciptakan iklim investasi dalam Perpres TKA adalah semangat mewujudkan fleksibilitas pasar tenaga kerja yang lebih condong menguntungkan pemodal dibandingkan peningkatan kesejahteraan buruh dan penyerapan tenaga kerja.

Fleksibilitas pasar tenaga kerja mungkin menyerap tenaga kerja, tetapi berupa insecure job. Hanya menghasilkan subkelas baru dari proletariat: precariat. Buruh yang pekerjaan dan hidupnya sangat precarious, sebab serba tak pasti apakah kerja hari ini akan berlanjut esok pagi.

Hal terkait Perpres TKA dan regulai lainnya belum posisi pribadi saya. Artikel ini hanya merespon pernyataan Pak Hanif tentang jangan politisasi isu TKA. Saya butuh waktu lebih banyak untuk menilai seksama problem TKA.

Karena itu, saya sangat butuh agar Pak Hanif dapat mengklarifikasi tuduhan Pak Iqbal Said tentang keberadaan buruh asing kerah biru. Itu jauh lebih penting agar publik dapat dengan tepat menegakkan penilaian dan posisi terhadap isu ini. Itu lebih berguna daripada berupaya mendiamkan kehebohan yang memang sudah seharusnya.

Rakyat justru harus selalu diajak untuk menghebohkan kebijakan publik, Pak Hanif. Agar mereka tidak seperti lalat mengerubungi sampah, yaitu isu-isu tak penting seperti presiden jadi imam solat, percakapan porno tokoh publik, dan yang sejenisnya.

Demikian. Dari pengagummu.

Baca artikel terkait: TKA Kerah Biru Cina Adalah Anomali

***

Tilaria Padika

27042018

Kunjungi Kumpulan artikel tentang Perjuangan Buruh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun