Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada oleh DPRD dan Potensi "Shadow State"

19 April 2018   13:51 Diperbarui: 20 April 2018   12:17 2538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya baru tahu upaya menghidupkan kembali Pilkada oleh DPRD dari artikel Kompasianer Ronald Wan, "DPRD Memilih Pemimpin Daerah?" Setelah mengecek ke sumber berita, benarlah bahwa Pak Bamsut, kader Golkar yang kini Ketua DPR sudah sounding hal itu. Artikel ini sudah pernah saya posting dan oleh kesalahan teknis terhapus. Saya tayangkan lagi karena tampaknya masih banyak pihak keukeuh hendak mengolkan agenda pilkada oleh DPRD.

Ini usulan yang ahistoris mengingat upaya DPR melalui UU 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan UU UU Nomor 23/2014 tentang Pemda telah dikandaskan Tuan SBY saat masih presiden melalui Perpu Perppu 1/2014 dan Perppu 2/2014 yang mencabut dan memperbaiki isi kedua UU itu.

Lucunya, pada 2015, DPR dari partai yang sama, yang sebagian anggotanya masih muka lama DPR 2014 secara aklamasi mengesahkan Perppu 1 dan 2 itu menjadi UU 1/2015 dan UU 2/2015. Dalam rangka perbaikan kualitasnya, UU juga telah berubah beberapa kali. UU 1/2015 menjadi UU 8/2015, lalu UU 10/2016.

Menanggapi wacana ini, saya mendaur ulang artikel saya (dengan nama saya di dunia offline) "Pilkada oleh DPRD dan Menguatnya Shadow State" yang  dimuat di media cetak lokal di NTT pada 8 September 2014 lampau.

Memahami Shadow State

Shadow state adalah teori yang diperkenalkan William Reno dari studi terhadap negara-negara post-colonial di Afrika. Saya belum membaca langsung karya Reno, tetapi mengenal teori shadow state dari paper sejumlah akademisi. Sari pati konsep shadow state dari beragam paper itu sebagai berikut:

Pertama, kebijakan publik dibuat pejabat pemerintah untuk keuntungan ekonomi pribadi atau kelompoknya.

Kedua, kebijakan dibuat tidak berdasarkan regulasi resmi yang ada, tetapi --ketiga--ditentukan oleh persekongkolan antara elit birokrasi, elit politik, elit ekonomi, dan gembong kriminal teroganisir.

Keempat, jaringan persekongkolan ini mengambil alih peran dan sumber daya negara dalam penyediaan kebutuhan publik demi rente ekonomi.

Kelima, dalam menyabotase negara, jaringan ini membonceng aparatus formal pemerintahan dengan membelokkan tugas dan fungsinya atau memanfaatkan institusi non-state.

Keenam, kepatuhan publik ditegakkan melalui aparatus koersif privat seperti milisi sipil atau preman terorganisir.

Meski sebagian paper di atas adalah karya di bidang ilmu politik, shadow state lebih sering dibahas dalam ranah ekonomi politik dengan ekonomi informal sebagai kata kunci.

Pengertian ekonomi informal tidak hanya terkait bentuk usaha unregulated--sebagaimana istilah ini melekat pada pedagang kaki lima--, produksi subsistem, atau pekerjaan tak berupah, tetapi mencakup juga aktivitas ilegal oleh badan usaha legal. Untuk menegaskan maksud pada definisi ekonomi informal yang terakhir, sering digunakan istilah clandestine economies.

Karena melibatkan para pemilik perusahaan besar dan gembong kriminal, teori shadow state beririsan dengan konsepsi bossism atau 'orang lokal kuat' yang dikembangkan Migdal.

Penggunaan milisi atau preman sebagai alat koersif adalah variabel sentral dalam teori shadow state. Milisi dan preman adalah bayangan dari instrumen represif formal (tentara dan polisi) yang merupakan syarat utama kehadiran negara. Tetapi hemat saya, variabel ini dialektis. Alat koersif  shadow state bisa saja lembaga formal yang dibajak tugas dan fungsinya menjadi pelayan persekongkolan.

Perlakuan dialektis ini dibenarkan karena eksistensi shadow state merupakan "matter of degree", bukan "all or nothing" sehingga keberadaannya pada suatu wilayah pemerintahan tidak harus menunggu semua syarat terpenuhi. Dengan itu teori yang berawal dari penyimpulan induktif atas kondisi khas negara-negara post-colonial Afrika ini bisa diterapkan di lain teritori dan waktu.

Shadow State di Pekarangan Kita

Di Indonesia, gejala shadow state menguat pasca-orde baru, terutama di daerah-daerah ketika perselingkuhan elit birokrat-politik-bisnis-kriminal tidak bisa lagi terang-terangan. Lihatlah penjelasan Sidel --meski tanpa istilah shadow state---dalam "Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia." Tampaknya apa yang disebut dalam perbincangan massa sebagai praktik mafia dalam lembaga negara adalah penyimpulan populer atas keberadaan shadow state.

Di beberapa provinsi, shadow state lebih gampang tercium. Penelitian Syarif Hidayat membongkar peran Chassan Sochib, ayah dari Gubernur Banten Atut Chosiyah dalam mengendalikan politik dan pemerintahan sekaligus menikmati rente ekonomi dari sana. Chassan adalah Ketua Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten, ketua KADIN Banten, dan politisi senior Golkar.

Di NTT bau busuk shadow state lebih samar, berupa rumor di sekitar SKPD 'juragan proyek.' Di tingkat provinsi ada rumor tentang dominasi etnis tertentu dalam jabatan penting (elit birokrasi) dan pengusaha pemenang tender (elit bisnis) di SKPD tertentu dengan hubungan mutualis dimana proyek dikerjakan dengan leasing alat berat milik pejabat pembuat komitmen.

Di kabupaten tertentu, SKPD atau OPD 'kaya proyek' didominasi oleh klik politisi berpengaruh sehingga sebelum lelang proyek terbuka, kadis perlu bertanya kepada klik itu tentang kepada siapa proyek akan diberikan. Ada pula rumor tentang pemda tertentu pada periode silam yang mengabaikan tanggung jawab penyediaan air bersih karena kepala daerah memiliki bisnis air bersih. Yang lebih benderang adalah kasus human trafficking yang di-back-up aparatur represif formal sebagaimana kini ramai diberitakan.

Sedikit Catatan Tambahan

Saya merasa perlu memberikan sedikit catatan tambahan tentang teori ini. Saya duga, Willian Reno adalah seorang Weberian dalam teori negara atau sosiologi kekuasaan sehingga merasa perlu menambahkan istilah shadow state untuk menunjukan  penyimpangan dari format negara lazim yang dipercaya kaum state-centered theory. Jika ia seorang Marxian, ia tidak perlu memberikan istilah khusus atas fenomena ini sebab yang perlu ia lakukan adalah sekedar menempatkannya sebagai mekanisme baru dari kelas dominan dalam mempengaruhi negara -- bagian dari pendekatan instrumentalis, salah satu cabang dari society-centered teory.

Tetapi soal Reno itu seorang Weberian, sekali lagi hanya dugaan berdasarkan kegenitannya memproduksi istilah shadow state. Sekarang kita kembali ke topik.

Pilkada oleh DPRD Menguatkan Potensi Shadow State

Saya hanya akan mengajukan dua skenario sebagai argumentasi sederhana yang didasarkan pada asumsi kondisi umum, yaitu motif rente ekonomi dalam berpolitik.

Para pengusaha membiayai jagoannya demi imbalan rente ekonomi dari proyek pemerintah, kebijakan protektif, atau diskriminasi fiskal. Politisi non-pengusaha dan para elit birokrat berubah status menjadi pengusaha kaya-raya setelah beberapa tahun menjabat.

Meski masif terjadi, money politics dalam pemilukada tidak selalu efektif memanen dukungan rakyat. Banyak cagub atau cabup gagal yang mengeluh sudah belanjakan miliaran rupiah untuk membeli suara dengan berbagai cara. 

Tidak efektifnya money politics di dalam pemilukada bisa disebabkan tumbuhnya kesadaran politik sebagian rakyat; bisa juga uang dan barang yang dibagi terlampau kecil untuk mengubah kesetiaan tradisional berbasis kesamaan indentitas pada calon lain; atau kecilnya cakupan sasaran dibanding jumlah pemilih. Maka massa rakyat adalah filter terhadap money politics meski sering koyak.

Bandingkan, di dalam pilkada oleh DPRD, money politics cukup kepada 30 anggota DPRD kabupaten/kota untuk mendapatkan suara mayoritas. Dengan Rp 3 miliar rupiah, Rp 100 juta per suara, kemenangan nyaris pasti. Sementara dalam pemilukada, modal sedemikian hanya sanggup membeli 30.000 suara, Rp 100 ribu per suara dengan loyalitas jauh di bawah 100 persen.

Dana yang dibayarkan kepada 50 persen+1 anggota DPRD, akan lebih mudah ditagih kembali jika terjadi 'suara lari' dibandingkan jika uang receh dibagi-bagi kepada rakyat pemilih.

Dengan hasil lebih pasti, lebih banyak cukong bersedia membiayai transaksi suara dalam pilkada oleh DPRD dibanding melalui pemilu. Sebagai balas jasa, para cukong memonopoli proyek-proyek pemerintah, bahkan mendesak privatisasi ilegal pada penyediaan barang-jasa publik.

Skenario lain adalah melalui peran para ketua partai. Aristokrasi di tubuh parpol menyebabkan anggota legislatif takut berbenturan sikap dengan ketua partai. Maka dalam pilkada oleh DPRD relasi transaksional cukup melibatkan para ketua partai, yang selanjutnya memastikan kepatuhan anggota DPRD.

Ketika mutualisme ilegal ini berlangsung jangka panjang, rezim shadow state terbentuk. Interupsi, debat, orasi indah dalam sidang DPRD sekedar dagelan, karena keputusan telah dibuat dalam rapat gelap elit birokrat, ketua partai, pengusaha, dan gembong kriminal. Sebuah negara klandestin berjalan di balik sandiwara rutinitas palsu negara formal.

Dengan demikian, maka gagal sudah argumentasi ketua DPR Bambang Soesatyo bahwa pilkada oleh DPRD akan meminimalisir korupsi kepala daerah dan menekan money politics.

Pilkada oleh DPRD tidak mencegah money politics. Ia hanya melokasikasi money politics, dari door to door di tengah masyarakat menjadi tertutup dalam pertemuan-pertemuan rahasia cakada-cukong-anggota DPRD-Ketua Parpol.

Jadi, pertahankan pemilukada atau membiarkan shadow state menguat?

***

Tilaria Padika

Timor, 15/03/2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun