Meskipun Perpres 48/2016 atau peraturan sebelumnya, jagung termasuk dalam pangan pokok yang pencadangan untuk ketahanan pangan ditugaskan kepada BULOG, dalam kenyataan jarang dijumpai BULOG melakukan operasi pasar di saat harga jagung pangan melonjak.
Di Timor pada 2016 lalu, berdasarkan survei pasar yang saya lakukan ketika menjadi business consultant subsektor pascapanen jagung untuk sebuah proyek negara pasifik, harga eceran Jagung di tingkat konsumen dapat mencapai Rp 12.000 per Kg, sementara harga pembelian di tingkat petani saat musim panen hanya Rp 3.000 - Rp 4.000 per Kg.
Biasanya petani di Timor telah kehabisan persediaan jagung di tingkat rumah tangga pada bulan Oktober, dan baru akan panen lagi di bulan Maret-April. Sepanjang Oktober hingga Februari, harga jagung bergerak dari Rp 7.000/Kg hingga Rp 12.000/Kg. Sepanjang masa itu, saya tidak menjumpai adanya operasi pasar murni untuk jagung yang diselenggarakan oleh BULOG.
Pengistimewaan beras dalam operasi pasar berdampak pada berubahnya pola konsumsi pangan pokok menjadi monokultur beras. Dalam jangka panjang hal ini mengacaukan upaya mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Kedaulatan dan ketahanan pangan hanya akan terwujud jika pola konsumsi pangan pokok sesuai dengan potensi lokal.
Berdasarkan empat poin kelemahan dari kebijakan pengendalian harga pangan yang bersandar kepada operasi pasar oleh BULOG, saya menyarankan agar pemerintah memikirkan alternatif kelembagaan stabilitas pasokan dan harga pangan pokok melalui Bumdes berbentuk Lumbung Desa.
Modelnya bisa meniru Sistem Resi Gudang (SRG) yang pernah dikembangkan dahulu. Kelemahan SRG dahulu adalah gudang yang berkapasitas sangat besar, hanya satu dan terletak jauh dari sentra produksi pangan. Hal ini yang menyebabkan gudang-gudang mangkrak dan SRG tidak dimanfaatkan petani pangan.
Jadi, kegagalan SRG bukan terletak pada business model-nya, tetapi pada lokasi yang jauh dari sentra produksi dan kapasitas gudang yang terlampau besar.
Sistem ini akan berhasil jika gudang-gudang itu dipindahkan ke tingkat desa. Artinya SRG yang dahulu merupakan kerjasama Disperindag-PT Pertani-Bank BRI dan gagal itu, direplikasi ke tingkat desa dengan Lumbung Desa berformat Bumdes sebagai ujung tombaknya.
Dengan memindahkan ujung tombak kelembagaan pangan di tingkat desa, berbagai kelemahan sistem berujung tombak BULOG sebagaimana saya uraikan di atas dapat diminalisir.
Ketika musim panen, petani dapat menyimpan pangan ke lumbung desa dan mendapatkan pinjaman berbiaya murah dengan agunan resi gudang. Ketika paceklik, petani dapat mencairkan simpanan pangannya dengan membayar harga penyimpanan yang lebih rendah dibandingkan disparitas harga pangan panen-paceklik di pasar umum.
Dengan cara itu, BULOG cukup menjaga pasokan dan harga pangan bagi masyarakat perkotaan. Untuk masyarakat desa, yang sebagian besar adalah petani, biarlah mereka mengurus mandiri melalui Lumbung Desa berformat BUMDes.