Operasi Pasar Murni BULOG untuk menekan harga pangan eceran di tingkat konsumen juga membantu petani sebab saat off-season ketersediaan pangan pokok telah berada di tangan pedagang sementara petani telah berstatus konsumen. Tetapi salah timing dalam operasi pasar, apalagi jika bersumber pada impor memang berisiko memukul harga di tingkat petani.
Pemerintah bisa saja memaksakan harga eceran tertingi beras BULOG yang disalurkan melalui para pedagang eceran dalam operasi pasar murni. Tetapi hal ini sulit dilakukan untuk perdagangan normal, ketika pangan, terutama beras yang dipasarkan pedagang eceran berasal dari pedagang besar.
Untuk menyiasati ini, hemat saya pemerintah perlu menerobos langsung ke hulu. Pembelian beras dari petani perlu diambil alih dari rantai panjang yang dikuasai para pedagang besar, dan garda depan pengendalian pasokan dan harga perlu diserahkan ke lembaga lokal di tingkat terkecil, tidak bisa hanya mengandalkan BULOG.
Ada beberapa persoalan yang tidak selesai jika hanya mengandalkan BULOG.
Pertama, pengadaan beras BULOG sering tidak efisien. Pengangkutan dari desa-desa sentra produksi pangan menuntut biaya. Oleh pemenang lelang pengadaan pangan BULOG, biaya ini dibebankan kepada petani di hulu sebab pengendalian harga di tingkat produsen menggunakan acuan HPP di gudang Perum BULOG.
Sebaliknya operasi pasar di tingkat konsumen membutuhkan biaya pengangkutan dari gudang subdrive Bulog, terutama ke pasar-pasar di pedalaman. Biaya pengangkutan ini, sebagaimana diatur Permentan, membebani APBD.
Kedua, karena tersentral di divre dan subdivre, penggelontoran beras operasi pasar murni sering terlambat. Meski Tim Pengendalian Inflasi ada hingga tingkat kabupaten/kota, sebagaimana ditetapkan Keppres 23/2017, pengambilan keputusan tidak terindarkan dari kecenderungan kelembaman birokrasi. Operasi pasar murni juga sering tidak menjangkau pasar-pasar kecamatan, berdampak pada luputnya orang-orang desa dari manfaat operasi pasar.
Ketiga, pengadaan pangan pokok oleh BULOG tidak menyelesaikan problem disparitas harga antara musim panen dan musim paceklik yang dialami petani.
BULOG membeli pangan pokok dari petani di saat musim panen saat harga berada di tingkat terendah. Ketika musim paceklik tiba, petani adalah net consumers dan harus membeli pangan pada harga pasar off-season. Meski disparitas harga beli (HPP) dan jual (HET) pangan oleh BULOG tergolong tipis (pada 2017, disparitas HPP panen raya dan HET off-season beras hanya sekitar Rp 2.000,- atau di bawah 25%), kenyataan di pasar, disparitas yang dihadapi petani lebih tinggi dari harga acuan resmi.
Keempat, operasi pasar oleh BULOG menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan pokok masyarakat menjadi monokultur beras.