Mungkin saya kurang gaul sehingga tidak tahu persis apa yang terjadi di ceruk-ceruk kota dan sudut-sudut kampung. Mungkin. Tetapi demikian yang tampak bagi saya. Di sebagian tempat, anak-anak masa kini kehilangan kegembiraan Paskah.
Andai punya kemampuan seperti Jyestha si Penjelajah Waktu, pergilah ke masa sebelum 1990-an. Tanyakan kepada kakak-kanak di sana, apa itu Paskah bagi mereka.
Anak-anak di kota akan cepat-cepat berseru, "Mencari telur Paskah. Ramai nian. Berlomba bersama kawan sepermainan. Siapa lihai, mendapat paling banyak. Olalala, jangan lupa pula acara tukar kado. Sungguh menggembirakan."
Anak-anak di pedesaan akan berbinar-binar matanya, menceritakan betapa ramai pertandingan sepak bola, bola voli, dan adu tarik tambang oleh orang-orang dewasa yang datang dari desa-desa tetangga. Sebulan lamanya sebelum pekan suci, desa semarak oleh sorak-sorai orang-orang bertanding dan menonton pertandingan.Â
Beberapa hari sebelum pekan suci, para kerabat dari dusun-dusun yang jauh sudah tiba dan menginap di rumah kerabat mereka di dusun dekat gereja. Anak-anak gembira dibawakan oleh-oleh ala kadarnya oleh kerabat yang jarang mereka jumpai dan  bertemu sepupu-sepupu seusia.
Bagi anak-anak, Paskah adalah kegembiraan. Paskah adalah tawa dan teriakan lepas bersemangat. Bermain. Bahagia.
Kini di beberapa tempat, sejauh cakupan amatan saya yang terbatas ini, Paskah telah menjadi hanya milik orang tua.
Apa itu Paskah? Tanyakan itu kepada anak-anak sekarang.
"Paskah adalah misa terus-menerus selama beberapa hari. Paskah adalah dengkul ngilu oleh ritual Jalan Salib setiap pekan. Paskah adalah terkantuk-kantuk menemani orang tua latihan paduan suara. Paskah adalah misa berjam-jam dan tak boleh berisik, jangan berlarian di halaman gereja."
Ah, sungguh kelabu Paskah itu.
Saya mungkin seorang ayah yang dianggap tak bertanggung jawab atas kehidupan rohani anak sebab menolak mengenalkan konsep-konsep abstrak sebelum usianya cukup untuk mengerti.
Suatu ketika, guru kelas dua SD tempat anak saya bersekolah minta bicara. Anak saya bernilai rendah dalam ujian agama karena tidak bisa mengucapkan beberapa doa wajib. Kepada guru agama, anak saya katakan, "Papa tidak ajar saya berdoa begitu. Papa ajar saya berdoa dari hati. Apa yang saya mau minta dari Tuhan, itu yang saya ucapkan."
"Ya!" Jawab saya. Mengajarnya menghafal doa-doa dengan kata-kata yang tidak sungguh-sungguh dipahami anak seusianya hanya akan menjauhkannya dari Tuhan.
Ketika anak saya berdoa, dia akan katakan, "Tuhan, tolong buat teman-teman saya besok mau mainkan game yang sudah saya ciptakan sore tadi." Atau "Tuhan Yesus, tolong besok tiupkan angin agar pita rambut Ce*** -- gadis kecil yang anak saya sukai karena bisa memahami humor khas anak saya-- jatuh tepat saat saya di belakangnya. Lalu dia akan saya ceritakan humor dan dia tertawa." Atau "Tuhan tolong besok buat papa antar saya ke sekolah lebih cepat supaya saya punya waktu bermain lebih banyak sebelum masuk kelas." Sungguh personal.
"Ibu tahu salah satu alasan saya memilih sekolah ini? Karena di sekolah ini, anak-anak berdoa dengan cara bernyanyi, dengan kata-kata dan cara yang netral, tidak mewakili cara salah satu agama."
Begitulah. Di sekolah anak saya --saat masih di Kupang, dan nanti kalau sudah kembali ke Kupang lagi-- anak-anak berdoa dengan cara bernyanyi, "My God is so great and so strong and so migthy. There's nothing my God can not do." Dengan cara itu, Tuhan tidak dipetak-petak, Tuhan tidak dilapak-lapak. Tuhan adalah universal. Agama telah mengecilkan-Nya.
Tetapi yang terpenting, bagi anak-anak, Tuhan seharusnya menggembirakan. Tuhan adalah canda-tawa. Tuhan adalah spontanitas, adalah syukur sukacita.
Natal dua tahun lalu, istri saya --seorang muslim-- mengirimkan presentasi dua perayaan natal di dua gereja berbeda afiliasi di Wellington, New Zealand. Ia minta saran saya ke perayaan misa yang mana anak kami hendak diantarkan.
Misa Kudus di Gereja Katolik -- gereja saya-- tampaknya lebih lama dan khidmat. Sebuah perayaan liturgi Gregorian yang agung dan indah bagi orang tua, tetapi akan membosankan bagi anak saya yang berusia 8 tahun. Sementara ibadat di gereja Anglican akan menggelar drama natal yang diperankan anak-anak. Perayaan misa-nya pun lebih singkat, ringan, dan meriah. Saya memilih mereka merayakan misa Natal di gereja Anglican.
Tentu banyak yang tidak setuju dengan itu. Tetapi bagi saya, prinsip  terpenting adalah Tuhan itu Cinta, dan cinta itu menggembirakan. Kedekatan anak-anak dengan Tuhan haruslah relasi yang menggembirakan, rasa cinta yang sukarela, dan terima kasih yang tulus akan kehidupan yang penuh sukacita, bukan taqwa yang terpaksa oleh ketakutan akan ancaman hukuman setelah kematian.
"Nolite timere; ecce enim evangelizo vobis gaudium magnum, quod erit omni populo." Jangan takut; karena lihatlah, aku membawakanmu kabar baik sukacita yang besar, yang harus untuk semua orang.
Selamat Paskah.
***
Tilaria Padika
01/04/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H