Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Film sebagai Gerbang Pengetahuan

30 Maret 2018   23:27 Diperbarui: 30 Maret 2021   12:32 4408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Om-Tante tentu sudah tahu, jika saya mengulas film, isinya akan lebih banyak informasi-informasi tambahan di luar film. Jika film menyajikan rangkaian peristiwa pada batasan waktu tertentu, saya akan menarik lebih jauh ke latar belakang, ke sejarah yang mempengaruhi terjadinya peristiwa itu. Film-film yang saya tonton memang seringnya film sejarah dan drama biografi.

Sering saya sudah tahu peristiwanya. Jadi menonton film sekedar sebagai hiburan atau untuk melihat persepsi lain, yaitu sudut pandang sineas dalam menginterpretasikan peristiwa. Saya suka terpukau oleh kecerdasan sineas yang menampilkan sudut pandang tak lazim.

Tetapi kadang-kadang film juga membuat saya terkejut akan hadirnya fakta baru, hal yang tidak saya ketahui sebelumnya. 

Jika menemukan yang demikian, saya akan lanjutkan dengan penelusuran pustaka. Dengan itu, film telah menjadi semacam gerbang pengetahuan, pintu masuk untuk mempelajari hal baru.

Contoh yang baru saja saya alami adalah film Exodus: God and King. Ini film tentang pembebasan bangsa Yahudi dari perbudakan Mesir. Sengaja saya tonton mengingat umat Kristiani sedang dalam masa pekan suci yang akan berpuncak pada perayaan Paskah hari Sabtu (Sabtu Halleluya) dan Minggu Paskah.

Paskah yang dirayakan umat Kristiani berakar dari tradisi Yahudi. Tentu saja sebuah penafsiran ulang. Umat Kristiani merayakan Paskah sebagai peristiwa kebangkitan Yesus Kristus yang dijuluki Anak Domba Allah. 

Sementara Paskah orang Yahudi adalah peringatan pembebasan dari perbudakan Mesir, terutama terkait wabah terakhir yang dialami bangsa Mesir. Itu peristiwa ketika Allah menghukum orang Mesir dengan membunuh semua anak lelaki Mesir. Anak lelaki Yahudi bebas dari wabah kematian itu sebab mereka menyembelih korban kambing dan menorehkan darahnya pada pintu rumah.

Bukan soal Paskah yang menarik saya menuliskan contoh ini. Adalah adegan pada menit-menit awal yang bikin saya terkejut. Adegan Pendeta Mesir memimpin upacara penyembelihan unggas sebagai korban persembahan dan melihat hatinya sebagai media meramal.

Saya harus kaget, bukan memaksa-maksa kaget. Memang kaget benar. Soalnya, meramal dengan media hati hewan korban persembahan adalah budaya dari banyak etnis di Nusa Tenggara Timur. Bagaimana bisa orang Mesir juga tahu soal ini?

Dalam kebudayaan saya, Manggarai di Flores, meramal dengan media hati hewan korban (hewan yang disembelih untuk menghormati leluhur) hingga kini masih dipraktikkan. 

Membaca "urat hati" disebut "toto urat dia" alias menunjukkan urat hati yang baik. Urat yang baik berarti kehidupan kita selama ini berkenan di hati leluhur dan tidak akan ada kesialan di hari-hari esok.

Sebenarnya tradisi itu sudah formalitas saja. Apapun kondisi hati hewan korban, si pemimpin upacara dan para tetua yang hadir akan bilang uratnya bagus. Makanya acara itu disebut juga "naring urat dia" atau memuji urat yang baik. Jadi, dari awalnya berupa ramalan, ia kini hanya semacam doa, ungkapan harapan.

Etnis Lamaholot yang mendiami ujung Timur Flores dan pulau-pulau kecil seperti Adonara, Solor, Lembata (Lomblen) hingga Alor (terutama Pantar) juga mempraktikkan hal ini. Setiap kampung etnis Lamaholot dipimpin oleh empat suku dengan masing-masing tugas spesifik. 

Suku yang berposisi sebagai Hurin bertugas membunuh hewan korban dan merawal dengan cara membaca urat hati hewan tersebut. Ramalan itu digunakan untuk mengetahui musim tanam yang baik. Pada zaman dahulu ramalan juga terkait kemenangan perang.

Di Pulau Timor, ketika terlibat di dalam advokasi melawan industri keruk marmer yang mengancam keberlangsungan ekologi, saya pernah diminta ikut serta di dalam upacara perang. Jika tak salah sekitar tahun 2006. 

Ketika itu, setelah sebagian penolak tambang marmer dipenjara pemerintah, orang-orang yang hendak melanjutkan perjuangan telah bersiap-siap akan menduduki kantor bupati selama sebulan penuh. Sebagai persiapan, mereka mengadakan upacara perang di kampung tua yang terletak di persimpangan 3 sungai besar.

Ternyata inti dari upacara yang dimaksud adalah penyembelihan ayam korban dan membaca urat hati ayam. Saya terkesima. Rupanya penduduk penghuni punggung Gunung Mutis di Kabupaten TTS, Pulau Timor ini juga mempraktikkan hal serupa orang Manggarai di Barat Pulau Flores dan orang Lamaholot di Timur Pulau Flores. Padahal ketiganya adalah kebudayaan yang berbeda. Topogeni, genealogi, dan bahasa yang sama sekali berbeda.

Ketika film Exodus: God and King menampilkan hal serupa di Mesir jauh sebelum Masehi, saya pun terdorong untuk mencari tahu lebih jauh.

Rupanya praktik meramal (divination) dengan media organ dalam hewan korban sudah jamak di berbagai kebudayaan tua dunia. Praktik itu disebut extispicy.

Dalam kebudayaan Romawi, extispicy disebut haruspicina, berasal dari haru yang artinya organ dalam dan kata specere yang berarti melihat. Dalam kebudayaan Yunani, extispicy disebut hepatoskopia, yang berarti melihat hati. Romawi dan Yunani mengadopsi extispicy dari agama kuno Etruscan. Kebudayaan Etruscan juga mempengaruhi peradaban Phoenicia, peradaban tua di wilayah yang kini mencakup Lebanon, Israel dan Syria.

Kebudayaan lebih tua lagi yang mempraktikan extispicy adalah Babilonia di Mesopotamia, wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Irak. Di kebudayaan ini, pendeta pembaca hati hewan kurban disebut baru. Agama orang Mesopotamia diadopsi ke dalam agama Hittite oleh masyarakat penghuni wilayah yang kini disebut Turki.

Informasi lebih detil tentang peradaban kuno yang mempraktikkan extispicy ini bisa Om-Tante baca dalam "Animals and Divination" yang ditulis Om Peter Struck untuk buku The Oxford Handbook of Animals in Classical Thought and Life yang terbit 2014 lalu.

Wah, gara-gara tonton Exodus: God and King dengan adegan sepintas pandita meramal lewat hati hewan korban, saya jadi tahu bahwa praktik ini lazim dalam agama kuno yang dianut peradaban besar dunia. Jadi rupanya bukan hanya etnis-etnis di NTT yang demikian. Film ini telah menjadi gerbang pengetahuan, jadi pintu untuk mencari tahu lebih jauh.

Bukan hanya film luar negeri yang bisa jadi gerbang pengetahuan. Film-film nasional pun demikian.

Salah satu contoh adalah film Ketika Bung di Ende. Pembuatan film ini didanai Kemendikbud, berkisah tentang Bung Karno selama masa pembuangan di Ende. Penulis naskahnya adalah Viva Westi dan Tubagus Deddy dengan bantuan konsultan sejarah Peter Rohi.

Ada satu adegan yang sering ditanyakan anak muda ketika menonton film ini adalah siapa itu Martin Paraja, seorang pelaut Marxist yang beberapa kali muncul dalam adegan bercakap dengan Bung Karno.

Banyak anak muda memang tidak tahu peristiwa Pemberontakan Kapal Tujuh pada 1933, sebuah momentum penting yang memberi semangat bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Banyak yang tidak tahu jika sejumlah pimpinan dari pemberontakan itu adalah para pelaut Nusa Tenggara Timur.

Menarik, Martin Paraja yang tewas di dalam pemberontakan itu dimunculkan di dalam film Ketika Bung di Ende, peristiwa setahun kemudian. Ketika hal ini saya (saya versi offline) tanyakan kepada Opa Peter Rohi, dia menjawab itu disengaja agar generasi muda mengenal para pahlawan asal NTT.

Ya, Opa Peter benar. Pilihan untuk sedikit menyimpangkan versi sejarah, menghidupkan Martin Paraja di dalam film Ketika Bung di Ende telah menjadi gerbang bagi anak muda NTT untuk mencari tahu lebih jauh tentang peran para pelaut Marxist asal NTT dalam perjuangan kemerdekaan.

Begitulah dua contoh bagaimana film berperan sebagai gerbang pengetahuan. Maka begitu Anda selesai menonton film sejarah, jangan pasif menelan adegan demi adegan pada layar. Jadikan itu sebagai gerbang, pintu masuk untuk menelusuri fakta-fakta lebih jauh.

Dengan begitu, pengetahuan Anda tidak akan mentok di 'ilmu nonton' dan 'ilmu nguping'. Yang lebih penting lagi, Anda tidak jadi korban hegemoni melalui projek budaya. Jangan lupa, generasi Om-Tante sekarang banyak lho yang produk manipulasi sejarah lewat film-film yang dibuat Order Baru dulu.

Baca artikel-artikel lain tentang FILM & BUKU

Untuk yang belum tonton film Ketika Bung di Ende, ini Youtube lengkapnya. Sebelum tonton, saya ucapakan selamat Hari Film Nasional.


***

Tilaria Padika

30/03/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun