Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menanggapi Artikel "Orang Sumba Makan 'Ughi'" dan Konsep Manajemen Pangan di Timor

16 Maret 2018   07:13 Diperbarui: 16 Juni 2018   17:25 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang NTT makan pangan alternatif, seperti Ughi di Sumba, sebagaimana diulas Pak Rofinus D. Kaleka dalam artikelnya "Ketika Penduduk Desa di Sumba Makan Ughi, Pertanda Apakah Itu?" bukan persoalan sederhana. Tidak cuma urusan pangan, ini juga menyangkut bias persepsi, termasuk persepsi media.

Pada Maret 2010, wartawan Tempo.co menulis berita tentang orang NTT makan pakan ternak karena krisis pangan (1). Pada Juni 2015, giliran kontributor Kompas melakukan "kesalahan" serupa (2). Warta ini menuai reaksi keras dari sejumlah pihak.

Sebagian pihak reaktif karena merasa hal ini membuat malu orang NTT. Respons yang seperti ini biasanya datang dari pihak pemerintah yang tidak mau mendapat pandangan minus dari masayakat.

Ada juga respons yang lebih substansial, yaitu terkait bias sudut pandang media massa. Dr. Elcit Li, sosiolog progresif di NTT memprotes berita itu dengan menggelar acara makan Putak, tepung irisan bagian dalam batang pohon lontar, sepekan sekali di kantornya. Saya (sebagai versi offline, bukan Tilaria Padika) lebih keras lagi. Dalam beberapa pertemuan dengan masyarakat desa yang menghadirkan orang-orang Jakarta, saya minta masyarakat menyajikan putak sebagai hidangan utama.

Hal itu kami lakukan untuk membersihkan bias persepsi pihak luar. Putak adalah pangan, bukan pakan. Betul bahwa ia juga diberikan kepada ternak sebagai pakan, tetapi bukan berarti mengonsumsi itu kita makan makanan hewan. Ini serupa saja dengan memberi anjing nasi dan gulai kambing. Nasi dan gulai kambing tetap saja pangan, bukan pakan anjing.

Rekan tim dari Jakarta disuguhi Putak dan Jagung dalam pertemuan dengan masyarakat desa. Dokpri
Rekan tim dari Jakarta disuguhi Putak dan Jagung dalam pertemuan dengan masyarakat desa. Dokpri
Memprotes salah persepsi itu bukan berarti saya bersikap seperti pemerintah lokal yang menolak mengakui adanya krisis pangan. Benar kata Pak Rofinus Kaleka, orang-orang yang mulai mengonsumsi ughi bisa jadi alarm krisis pangan. Krisis tidak berarti kelaparan.

Agar lebih jelas tentang ini, perlu kiranya saya sedikit menceritakan apa yang saya ketahui dari manajemen pangan orang Timor. Meski bercerita tentang Timor, bukan Sumba, saya pikir akan terdapat kesamaan antara dua pulau ini.

Saya bercerita tentang Timor karena saya boleh mengklaim cukup tahu --meski tak tahu semuanya--tentang manajemen pangan di pulau ini sebab beberapa tahun lamanya, sebelum memutuskan menjadi petani, saya (sebagai saya versi offline) adalah kuli lepas dengan job desk melakukan studi baseline dan memberikan assessment kepada LSM sebelum mereka merencanakan program terkait pangan dan gizi. Saya juga menyusun modul workshop dan kertas posisi penganekaragaman pangan. Jadi cukup akrab lah dengan soal ini.

Orang Timor memiliki tiga lapis sistem pencadangan pangan rumah tangga. Yang pertama adalah persediaan pangan di dapurnya (tingkap/loteng pada dapur sebagai tempat menampung peserdiaan pangan) atau di lumbung (untuk yang masih memiliki) yang disebut ume bubu (istana perempuan). Ya, istilah ini mencerminkan diskriminasi gender. Lain soal itu dan mungkin sewaktu-waktu jika saya suka, akan kita bahas.

Lapisan kedua adalah ternak, baik itu sapi, kambing, atau babi sebagai tabungan atau abuan yang dijual kala kepepet, termasuk ketika persediaan pangan di lumbung menipis.

Sementara yang ketiga adalah tanaman dan tumbuhan --bukan tanaman-- yang tumbuh bebas di pekarangan rumah, kawasan perladangan bera, kawasan hutan, dan pinggiran sungai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun