Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apakah soal Camilan di Bioskop Langgar Aturan Integrasi Vertikal?

14 Maret 2018   06:53 Diperbarui: 14 Maret 2018   18:27 3405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: tribunnews.com

Saya berterima kasih terhadap Kompasianer Irvan Rinaldi Sikumbang yang sudah mengangkat persoalan monopoli dan mahalnya harga camilan di bioskop. Rupanya bukan saya sendiri yang sering gondok dengan ini.

Untuk menyenangkan putra tunggal (kini 8 tahun usianya), saya atau istri, atau kami berdua sesekali mengajaknya menonton di bioskop. Bukan karena kami latah dan mau gaya-gayaan. Bukan. Kami tidak punya cukup uang untuk itu. Tetapi melihat matanya berbinar-binar ketika keluar dari bioskop dan mengatakan, "today is my great day, Papa. I'm so happy," semua uang yang keluar itu rasanya setimpal.

Orang tua mana sih yang hatinya tak lumer melihat anak bahagia?

Meski gembira sudah membuat anak bahagia, biasanya dalam perjalanan pulang, saya akan menghitung-hitung lagi uang yang keluar. Suka sumpek hati ini jika melirik struk dan melihat biaya paling besar sebenarnya untuk membeli camilan dan minuman. Sedikit beruntung, anak saya hanya suka minum air kemasan. Ia tidak doyan segala macam soda. "That's unhealthy, Papa," katanya.

Kalau sedang sekota dengan istri, biasanya beban ini agak ringan sebab ia sering tricky menyembunyikan air kemasan dalam tas. Saya susah buat ini. Yaelah, bapak-bapak bawa tas. Gengsi saya kalau dikomentari begitu. Jika rela selundupkan minuman dari rumah pun masalah pengeluaran belum teratasi. Masih ada jagung bunga dan kentang goreng yang tersenyum menyebalkan dari loket di samping loket tiket.

Anak saya bukan penuntut, tetapi melihatnya berpura-pura rela tidak dibelikan kentang goreng, mengangguk dengan binar mata sendu, hati ini porak-poranda.

Itu makanya, Anda tidak akan pernah melihat saya tersenyum pada penjaga loket tiket dan loket camilan di lobi bioskop. Seseorang harus disalahkan. Karena pemilik bioskop tidak mungkin bisa dijumpai, para pekerja itu lah yang kerap jadi sasaran.

Artikel kompasianer Rustian Al Anshori yang mengusulkan somasi menyalakan bohlam ide saya. Bisakah perilaku bisnis ini dijerat dengan regulasi Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)?

Saya lantas baca-baca sejumlah regulasi KPPU. Di antara sekian banyak peraturan, saya menduga yang satu ini mungkin bisa. Karena tidak mengerti hukum, hal ini saya lempar ke khalayak pembaca Kompasiana, mumpung soal ini sedang dijadikan topik khusus oleh admin Kompasiana. Siapa tahu Om-Tante yang mengerti hukum bisa urun pendapat.

KPPU dibentuk berlandaskan UU nomor 5 Tahun 1999  tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kabarnya UU ini akan direvisi. Sudah direncanakan sejak 2016, tetapi hingga kini saya baru tahu RUU-nya.

UU 5/1999 dibuat untuk "menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;  mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha." Demikian disebutkan dalam pasal 3.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun